REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Salah satu pemenang Hadiah Nobel Perdamaian 2021 dan editor salah satu surat kabar independen besar Rusia, Dmitry Muratov melelang medali Nobel miliknya. Hadiah itu terjual senilai 103,5 juta dolar AS atau Rp 1,5 triliun dan akan disalurkan untuk membantu anak-anak yang telantar akibat perang di Ukraina.
Menurut laporan media Amerika Serikat, lelang hadiah Muratov memecahkan rekor medali Nobel yang telah dilelang sebelumnya.Laporan mengatakan, penjualan tertinggi sebelumnya hanya di bawah lima juta dolar AS.
Heritage Auctions yang melakukan penjualan di New York mengatakan, lelang dilakukan bertepatan dengan Hari Pengungsi Sedunia pada Senin (20/6/2022). Semua hasilnya akan disumbangkan untuk bantuan kemanusiaan UNICEF untuk anak-anak pengungsi Ukraina.
"Penghargaan ini tidak seperti penawaran lelang lainnya untuk dipersembahkan," kata Heritage Auctions dalam sebuah pernyataan sebelum penjualan.
"Tuan Muratov, dengan dukungan penuh dari stafnya di Novaya Gazeta, mengizinkan kami melelang medalinya bukan sebagai koleksi tetapi sebagai acara yang dia harapkan akan berdampak positif bagi kehidupan jutaan pengungsi Ukraina," ujar badan itu.
Muratov yang ikut mendirikan Novaya Gazeta pada 1991 memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian 2021 bersama Maria Ressa dari Filipina. Penghargaan ini, menurut komite Hadiah Nobel, sebagai upaya menjaga kebebasan berekspresi, yang merupakan prasyarat bagi demokrasi dan perdamaian abadi.
Sebelum pelepasan medali untuk pelelangan, jurnalis ini pun berjanji menyumbangkan sekitar 500 ribu dolar AS dari hadiah uang itu untuk amal. Dia mendedikasikan Nobel yang didapatkan kepada enam jurnalis Novaya Gazeta yang telah dibunuh sejak 2000.
Surat kabar Novaya Gazeta milik Muratov sangat kritis terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin dan pemerintahnya. Pemerintah menghentikan operasi media tersebut di Rusia pada Maret setelah peringatan atas liputannya tentang perang di Ukraina.
Tekanan terhadap media liberal Rusia terus berlanjut di bawah pemimpin tertinggi Rusia sejak 1999. Namun, tekanan itu meningkat setelah Moskow mengirim pasukan ke Kiev pada 24 Februari.
Media arus utama Rusia dan organisasi yang dikendalikan negara mengikuti dengan cermat bahasa yang digunakan Istana Kremlin untuk menggambarkan konflik dengan Ukraina. Salah satunya dengan menyebut serangan itu sebagai "operasi khusus" untuk memastikan keamanan Rusia dan menghancurkan tetangganya. Kiev dan sekutu Baratnya mengatakan itu adalah perang agresi yang tidak beralasan.