REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Setelah kehilangan suara yang besar dalam pemilihan legislatif Prancis, para ahli mengatakan Presiden Emmanuel Macron dapat menggunakan dua opsi untuk mempertahankan mayoritas parlemen yakni membentuk aliansi dengan partai-partai oposisi atau membubarkan Majelis Nasional dan menyerukan pemilihan baru.
Hasil resmi putaran kedua pemilihan legislatif menghasilkan suara parlemen yang terfragmentasi. Aliansi Macron's Ensemble (Together) memimpin dengan 245 kursi tetapi masih kurang dari 289 yang diperlukan untuk mayoritas mutlak.
Koalisi New Ecological and Social Popular Union (NUPES) sayap kiri mendapat 131 kursi dan partai National Rally sayap kanan Marine Le Pen memperoleh 89.
Dengan situasi ini, Macron akan sangat sulit untuk meloloskan undang-undang untuk meneruskan agenda periode kedua pemerintahannya.
Sebanyak 89 anggota parlemen sayap kanan dan 131 anggota parlemen kiri dapat secara efektif memblokir RUU seperti reformasi pensiun. Kedua gerakan politik itu menentang usulan Macron untuk menaikkan usia pensiun dari 62 menjadi 65.
Berbicara kepada France Bleu news, ilmuwan politik Olivier Ihl, seorang profesor di Sciences Po Grenoble, memperkirakan bahwa untuk mengatasi “kemunduran serius”, Macron “harus melakukan koalisi.”
Pandangannya ini juga diamini Menteri Pelayanan Publik Stanislas Guerini, yang mengatakan kepada RTL news bahwa Ensemble harus bersedia membentuk aliansi berbasis isu dengan partai-partai kiri dan sosialis.
“Yang kami inginkan adalah menemukan mayoritas kepentingan umum dengan mereka yang ingin memajukan negara bersama kami,” katanya seraya menambahkan bahwa partainya dapat berkoalisi dengan NUPES, yang sangat heterogeny, di mana kedua parpol setuju untuk menggolkan RUU.
Pemilu baru
Macron juga dapat menggunakan Pasal 12 Konstitusi untuk membubarkan Majelis Nasional (DPR), setelah itu pemilu baru harus dilakukan dalam waktu 20-40 hari.
“Saat tidak ada mayoritas, atau mayoritas terlalu acak, tidak ada yang melarang pembubaran parlemen pada saat itu,” kata pakar konstitusi Didier Maus kepada CheckNews.
Pemilihan legislatif, yang berlangsung dalam dua putaran pada 12 Juni dan 19 Juni, semakin dekat dengan pemilihan presiden yang dilakukan pada 10 April dan 24 April.
Dua pemilu itu melahirkan tingkat golput yang tinggi.
Para ahli khawatir jika pemilu baru diumumkan sekarang, masyarakat masih lelah menjalani pencoblosan yang dapat berimbas pada hasil yang tidak diinginkan.
“Jika hasil (pemungutan suara) sama, itu akan menjadi kemunduran politik yang mengerikan,” kata Aida Manouguian, seorang doktor hukum publik, dalam laporan CheckNews.
Hingga saat ini, Macron dan Perdana Menteri Elisabeth Borne masih menahan diri untuk tidak membuat pernyataan apa pun soal nasib pemerintahannya.
Sebagai buntut dari hasil ini, surat kabar di Prancis merangkum suasana partai yang berkuasa di halaman depan dengan tajuk utama seperti 'The Slap' oleh harian Liberation, 'Earthquake' oleh Les Echoes dan Le Figaro's 'To the test of a ungovernable' Perancis.'