REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menilai, isu buruknya kualitas udara di DKI Jakarta hanya menjadi komoditas politik bagi pemerintah pusat maupun provinsi. Alhasil, kualitas udara Jakarta tetap buruk dan terus membahayakan kesehatan warga.
"Pada akhirnya upaya pemulihan terhadap polusi udara di DKI Jakarta ini dipolitisir," kata Pengacara Publik LBH Jakarta Jeanny Sirait saat konferensi pers menyikapi polusi udara Jakarta, Selasa (21/6/2022).
Penilaian Jeanny itu berangkat dari perkara gugatan polusi udara Jakarta yang didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 4 Juli 2019. Penggugat menuntut pemerintah (tergugat) untuk memenuhi hak warga atas udara sehat.
Penggugat dalam kasus ini adalah 32 warga. Sedangkan tergugat adalah Presiden RI Joko Widodo, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Banten (turut tergugat I), dan Gubernur Jawa Barat (turut tergugat II).
Pada September 2021, majelis hakim memutuskan bahwa Jokowi, Anies, dan tiga menteri melakukan perbuatan melawan hukum lantaran lalai memenuhi hak warga atas udara sehat. Hakim pun menjatuhkan sanksi kepada para pejabat itu untuk mengatasi polusi udara Jakarta.
Merespons putusan tersebut, pemerintah pusat mengajukan banding, sedangkan Anies menerima putusan meski banyak dikritik lantaran tidak terlihat jejak perbaikannya. Menurut Jeanny, respons pemerintah pusat dan DKI atas putusan tersebut hanya upaya saling menyalahkan.
Pemerintah pusat, kata dia, menyalahkan Pemprov DKI atas polusi udara. "Pemerintah pusat menyalahkan Pemprov DKI, bilang Pemprov tidak melakukan upaya signifikan, apa gubernurnya sibuk 2024 sampai DKI jadi kota terpolutif di dunia," kata Jeanny.
Di sisi lain, lanjut dia, Pemprov DKI juga menyalahkan pemerintah pusat karena mengajukan banding atas putusan PN Jakpus. "Pemda juga menyalahkan pempus: 'kenapa kamu melakukan upaya hukum sehingga saya tidak bisa melakukan upaya saya dengan maksimal'," tuturnya.
Sikap saling menyalahkan itu, menurut Jeanny, merupakan upaya menjadikan isu polusi udara menjadi komoditas politik belaka. "Jadi pada akhirnya, kualitas udara bersih di DKI Jakarta dijadikan komoditas politik oleh Pempus dan Pemda," ujarnya.
Menurut dia, pempus dan pemprov seharusnya saling bekerja sama untuk mengatasi permasalahan buruknya kualitas udara Jakarta ini. Selama mereka masih saling menyalahkan, kesehatan warga Jakarta akan terus terdampak.
"Berbagai riset menunjukkan bahwa polusi udara Jakarta bukan hanya tidak sehat bagi tubuh, tapi juga sudah berbahaya untuk dihirup," ujarnya.
Buruknya kualitas udara Jakarta kembali menjadi sorotan publik akhir-akhir ini. Jakarta menjadi kota dengan kualitas udara terburuk di antara kota-kota besar di dunia dalam waktu-waktu tertentu selama beberapa hari terakhir, menurut data jaringan pemantau kualitas udara real-time IQAir.
Menurut catatan BMKG, memang terjadi peningkatan konsentrasi partikel debu halus (PM2,5) di Jakarta dalam beberapa hari terakhir. Konsentrasi PM.2,5 di Ibu Kota sempat mencapai level tertinggi pada angka 148 mikrogram per kubik pada pekan lalu. Ini tergolong kualitas udara tidak sehat.