REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Mantan perdana menteri Malaysia Mahathir Mohamad mengeluarkan pernyataan kontroversial pada akhir pekan lalu. Ia menilai seharusnya Malaysia mengklaim Singapura dan Kepulauan Riau bagian dari negaranya.
Juru bicara Kemenlu RI Teuku Faizasyah mengatakan, wilayah NKRI ditentukan berdasarkan prinsip dan ketentuan hukum internasional yang berlaku.
"Indonesia tidak melihat dasar hukum dan alasan pernyataan Tun Mahathir," kata Faizasyah dalam pernyataannya, Rabu (22/6/2022).
Menurutnya, di tengah situasi dunia yang sedang menghadapi banyak tantangan, seorang politisi senior seharusnya tidak menyampaikan statement yang tidak berdasar (baseless) yang dapat menggerus persahabatan.
"Perlu ditekankan bahwa kepulauan Riau adalah wilayah NKRI dan sampai kapanpun akan menjadi wilayah NKRI," tegasnya.
Sebelumnya, Mahathir mengatakan selain Singapura, Kepulauan Riau seharusnya merupakan bagian dari Malaysia. "Kita harusnya tak hanya meminta Pedra Branca dikembalikan, atau Pulau Batu Puteh, kita juga harus meminta Singapura pun Kepulauan Riau, mengingat mereka adalah bagian dari Tanah Melayu (Malaysia)," ungkap Mahathir dikutip laman Strait Times.
Mahathir mengatakan bahwa lahan Malaysia dahulu terbentang dari Tanah Genting Kra di Thailand hingga Kepulauan Riau dan Singapura. Namun, wilayah itu kini terbatas di Semenanjung Malaysia. "Saya khawatir Semenanjung Malaysia akan diambil oleh orang lain di masa depan," katanya.
Mantan perdana menteri berusia 96 tahun itu berbicara di sebuah acara di Selangor. Acara diselenggarakan oleh beberapa organisasi non-pemerintah di bawah bendera Kongres Survival Melayu (Kongres untuk Kelangsungan Hidup Melayu) dan berjudul Aku Melayu: Survival Bermula (Saya Melayu: Kelangsungan Hidup Dimulai).
International Court of Justice pada 2002 memutuskan bahwa Sipadan dan Ligitan milik Malaysia dan bukan milik Indonesia. Pada 2008, ICJ memutuskan bahwa Pedra Branca milik Singapura, sementara kedaulatan atas Middle Rocks di dekatnya diberikan kepada Malaysia.
Pada 2017, Malaysia mengajukan permohonan kepada ICJ untuk merevisi putusan ini. Tetapi pada Mei 2018, setelah Mahathir menjadi perdana menteri lagi, Malaysia mengumumkan bahwa mereka akan menghentikan proses tersebut.