REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia tengah dalam persiapan melakukan ekspor ayam perdana ke Singapura. Peternak mandiri mengharapkan agar eksportir dari Indonesia tak hanya diisi oleh perusahaan terintegrasi, namun peternak mandiri yang sudah memiliki rumah pemotongan skala kecil.
"Saya merespons positif saja, tapi kalau bisa rumah pemotongan rakyat juga dikasih peluang agar tidak hanya integrator yang ekspor," kata Ketua Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) Jawa Barat, Mukhlis, kepada Republika.co.id, Rabu (22/6/2022).
Mukhlis mengatakan, saat ini sudah banyak peternak mandiri yang memiliki rumah pemotongan hewan dengan standar tinggi. Ia pun optimistis meski bukan di bawah pembinaan perusahaan, peternak juga mampu menembus pasar global.
Di sisi lain, ia menyambut positif rencana ekspor karena bisa mengurangi surplus berlebih yang kerap kali menekan harga di peternak. Namun, melihat Singapura yang menjadi tujuan ekspor, kemungkinan tidak akan berdampak besar pada pengurangan surplus yang ada.
"Ya minimal dibukanya keran ekspor itu akan mengurangi beban di pasar," kata dia.
Pria yang juga Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) ini meyakini jika pemerintah sudah meyakini kebutuhan dalam negeri pasti tercukupi, ekspor sangat memungkinkan dilakukan. Masalah ketersediaan untuk domestik harus menjadi prioritas.
Ia pun mengingatkan pertimbangan ekspor sebaiknya tidak hanya sekedar mencari keuntungan semata. Ketahanan dalam negeri ke depah harus menjadi prioritas di tengah tantangan pangan global saat ini.
"Harus ada basis datanya dan pemerintah pasti punya data itu. Berapa kebutuhan konsumsi dan produksi diluar konsumsi kita," katanya.
Harga Ayam Naik Bukan karena Pasokan Terbatas
Mukhlis mengatakan, kenaikan harga ayam yang belakangan terjadi bukan karena terbatasnya pasokan. Apalagi, Kementerian Pertanian (Kementan) sudah tidak menerbitkan surat edaran pemusnahan bibit ayam kepada para perusahaan. Dengan kata lain, produksi saat ini melimpah.
Hanya saja, biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi ayam mengalami kenaikan signifikan yang mau tak mau berdampak pada harga jual dari peternak.
Kenaikan harga karena harga pakan yang naik. Pakan berkontribusi sekitar 60-70 persen terhadap biaya produksi. Saat ini, harga pakan sudah mencapai Rp 8 ribu per kg hingga Rp 9 ribu per kg dari sebelumnya di kisaran Rp 6.500 per kg - Rp 7.500 per kg.
Kenaikan harga pakan berdampak pada harga jual ayam dari peternak yang saat ini berkisar Rp 21 ribu per kg - Rp 22 ribu per kg. Harga lebih tinggi dari acuan pemerintah Rp 19 ribu - Rp 21 ribu per kg. Situasi itu lantas berdampak pada kenaikan harga yang terasa hingga konsumen saat ini.
Harga ayam di pasar tercatat Rp 38 ribu per kg - Rp 39 ribu per kg dari sebelumnya Rp sekitar Rp 35 ribu per kg hingga Rp 36 ribu per kg."Jadi masyarakat harus terbiasa dengan harga yang baru. Telur saja sudah naik dengan harga baru. Memang normal harganya sudah segitu," kata dia.
Hanya saja, Mukhlis memaklumi kenaikan harga pangan, termasuk ayam, yang dikeluhkan terjadi disaat masyarakat dalam proses pemulihan ekonomi setelah dua tahun dihantam pandemi.
"Soal itu kan tugas pemerintah untuk mengatasi. Masa peternak yang harus berkorban?" katanya.
Sementara itu, Said Abdullah menuturkan, kenaikan harga ayam memang tidak terelakan. Meski begitu, pemerintah harus memikirkan strategi jangka menengah panjang agar bagaimana sumber protein masyarakat terpenuhi dan terjangkau.
Ia menilai, langkah yang paling utama dengan membenahi struktur pasar ayam broiler yang saat ini cenderung monopolistik oleh perusahaan besar.