REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- BPJS Ketenagakerjaan mencatat ada 23 ribu lebih perusahaan skala besar dan menengah yang tak patuh mendaftarkan dan membayar iuran pekerjanya. Sekitar 10 ribu perusahaan di antaranya kini dalam proses penindakan oleh Kementerian Ketenagakerjaan dan Kejaksaan RI.
Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Anggoro Eko Cahyo menjelaskan, perusahaan tidak patuh itu diketahui setelah pihaknya melakukan pemeriksaan terhadap 63.257 perusahaan skala besar menengah. Setelah diperiksa, 40.144 perusahaan di antaranya langsung patuh.
"Selebihnya belum patuh," kata Anggoro saat rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (22/6/2022). Jumlah yang belum patuh setelah diperiksa itu persisnya 23.113 perusahaan.
Padahal, UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) mewajibkan perusahaan mendaftarkan pekerjanya menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan. Perusahaan juga wajib membayar iuran para pekerjanya.
Anggoro menyebut, dari 23 ribu lebih perusahaan itu, sebanyak 4.242 perusahaan di antaranya telah dijatuhi sanksi Tidak Mendapatkan Pelayanan Publik Tertentu (TMP2T). Lalu ada juga 6.176 perusahaan yang sedang diproses oleh Kementerian Ketenagakerjaan dan Dinas Ketenagakerjaan. Ada pula 5.240 perusahaan yang diproses oleh Kejaksaan.
"Adapun sanksi pidana telah dijatuhkan kepada tiga perusahaan," ujarnya.
Direktur Jenderal Pembinaan Pengawas Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Ditjen Binwasnaker dan K3) pada Kementerian Ketenagakerjaan, Haiyani Rumondang mengatakan, sepanjang 2021 hingga 2022 ini, pihaknya sudah memberikan sanksi kepada 57 perusahaan yang membandel. Sanksi itu manjur membuat jumlah kepesertaan BPJS meningkat.
"Ada penambahan kepesertaan sekitar 42.788 orang," kata Haiyani dalam kesempatan sama.
Hingga 2021, tercatat ada 30,5 juta peserta BPJS Ketenagakerjaan. Direksi BPJS Ketenagakerjaan menargetkan jumlah peserta bertambah menjadi 70 juta pada 2026.