REPUBLIKA.CO.ID, TUNIS -- Presiden Tunisia Kais Saied mengonfirmasi rancangan konstitusi yang akan diajukan ke referendum pada 25 Juli mendatang tidak akan menyatakan Islam sebagai agama resmi, Selasa (21/6/2022).
“Konstitusi Tunisia berikutnya tidak akan menyebut negara dengan Islam sebagai agamanya, tetapi milik umma (komunitas) yang memiliki Islam sebagai agamanya. Umat dan negara adalah dua hal yang berbeda,” ucapnya kepada wartawan di bandara Tunis.
Saied menerima pengiriman draft teks pada Senin (20/6/2022), sebuah langkah kunci dalam upayanya merombak negara Tunisia setelah dia memecat pemerintah dan merebut kekuasaan yang luas Juli lalu dalam gerakan penentang yang disebut kudeta.
Dilansir Arab News, Selasa (21/6/2022) Sadeq Belaid, ahli hukum yang mengepalai komite perumus, mengatakan dalam sebuah wawancara awal bulan ini bahwa dia akan menghapus semua referensi tentang Islam dari dokumen baru sebagai tantangan bagi partai-partai Islam.
Komentarnya, sebagian mengacu pada musuh Saied, Ennahdha, sebuah partai yang diilhami Islamis yang telah mendominasi politik Tunisia sejak 2011, memicu perdebatan nasional yang panas. Artikel pertama konstitusi Tunisia tahun 2014 dan pendahulunya pad 1959, mendefinisikan negara Afrika Utara tersebut sebagai “negara yang bebas, mandiri, dan berdaulat. Islam adalah agamanya dan bahasa Arab adalah bahasanya.”
Konstitusi 2014 adalah hasil kesepakatan yang diraih dengan susah payah antara Ennahdha dan lawan sekulernya, tiga tahun setelah pemberontakan yang menggulingkan diktator Zine El Abidine Ben Ali.
Teks baru, yang dihasilkan melalui “dialog nasional” yang tidak menyertakan kekuatan oposisi dan diboikot oleh konfederasi serikat pekerja UGTT yang kuat, dimaksudkan untuk disetujui oleh Saied pada akhir Juni sebelum dimasukkan ke pemilih bulan depan.
Setahun setelah itu terjadi, mantan profesor hukum tata negara itu memecat pemerintah, kemudian mengkonsolidasikan perebutan kekuasaannya dengan membubarkan parlemen dan mengambil alih kekuasaan kehakiman. Langkahnya telah disambut oleh beberapa orang Tunisia yang lelah dengan sistem pasca-revolusioner yang korup dan sering kacau, tetapi yang lain telah memperingatkan dia akan mengembalikan negara itu ke otokrasi.
Saied telah lama menyerukan sistem presidensial yang menghindari kebuntuan yang sering terlihat di bawah sistem parlementer-presiden campuran. “Yang penting rakyat punya kedaulatan. Ada fungsi legislatif, fungsi eksekutif dan fungsi yudikatif, dan pemisahan di antara mereka,” katanya.
Baca juga : Astagfirullah, Holywings Unggah Promo Minuman Alkohol Bagi yang Bernama Muhammad
https://www.arabnews.com/node/2107786/middle-east