Kamis 23 Jun 2022 18:19 WIB

MRP Sebut Pemekaran Papua Terburu-buru 

Menurut Murib, ada kesenjangan antara keinginan pemerintah dan mayoritas akar rumput.

Rep: Mimi Kartika / Red: Ratna Puspita
Ilustrasi Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib (kedua dari kiri)
Foto: Republika/Nawir Arsyad Akbar
Ilustrasi Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib (kedua dari kiri)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib mengapresiasi Komisi II DPR yang mengundang dirinya untuk memberikan masukan terkait pembentukan provinsi baru di Papua. Namun, dia menilai, proses pemekaran wilayah Papua terkesan terburu-buru. 

"Pemekaran ini dengan cara-cara terburu-buru seperti ini," ujar Timotius dalam rapat dengar pendapat Komisi II DPR pada Rabu (22/6/2022) malam. 

Baca Juga

Sebelum menggelar rapat dengar pendapat dengan MRP, pada hari yang sama, Komisi II DPR bersama pemerintah dan DPD telah menyepakati sejumlah poin substansial dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pembentukan Provinsi Papua Selatan beserta daftar inventarisasi masalah (DIM). Karena ada kesamaan, kesepakatan dalam draf itu juga berlaku mutatis mutandis terhadap dua RUU lainnya, yakni tentang Pembentukan Provinsi Papua Tengah dan Pembentukan Provinsi Papua Pegunungan. 

Menurut Murib, hingga saat ini ada kesenjangan antara keinginan pemerintah dan mayoritas akar rumput yang menolak daerah otonomi baru (DOB) di Papua. Dia berharap, pemerintah dan DPR bersabar dalam pengesahan tiga RUU Pembentukan Provinsi di Papua. 

Pasalnya, pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua masih berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK). Timotius berharap, DPR dan pemerintah mau menunggu dasar hukum pemekaran Papua itu diputus oleh hakim. 

"Sangat elok dan terhormat kalau pemerintah menunggu putusan Mahkamah Konstitusi," kata dia. 

Satu-satunya hal yang belum disepakati oleh Komisi II DPR adalah penempatan posisi Kabupaten Pegunungan Bintang. Dalam rapat itu, mayoritas menginginkan kabupaten itu masuk ke Provinsi Papua Pegunungan, sedangkan bupati setempat menginginkan tetap di Provinsi Papua. 

"Jadi kalau gitu PR kita cuma soal Pegunungan Bintang. Nanti kita dengar aspirasi di Papua," ujar Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia sebelum menutup rapat kerja pada Rabu (23/6/2022) petang. 

Rapat panja juga menetapkan dua provinsi baru tetap menggunakan nama sesuai yang diusulkan, yakni Papua Tengah dan Papua Selatan. Sementara Papua Pegunungan Tengah diubah menjadi Papua Pegunungan. 

Kemudian untuk ibu kota, Papua Selatan disepakati bertempat di Merauke dan Papua Pegunungan di Wamena. Sedangkan, ibu kota Papua Tengah ditetapkan di Nabire, berubah dari usulan awal yang direncanakan di Mimika. 

Mereka juga bersepakat, pemerintahan provinsi (pemprov) akan dipimpin penjabat (pj) gubernur sampai dilakukan pemilihan kepala daerah serentak. Pelaksanaan pilkada ditetapkan menggunakan pembiayaan melalui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan dapat didukung anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) provinsi induk. 

Hal krusial lain yang juga disepakati ialah bakal dilakukannya revisi Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (Pemilu) atau perubahan melalui Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu). Pada DIM versi pemerintah, diusulkan agar pengisian DPR dan DPRD diatur dalam UU provinsi baru. 

Namun, karena sarat kepentingan politik, forum rapat menyepakati untuk membahas secara khusus di UU Pemilu. Menurut Doli, apabila dibahas dalam UU provinsi baru dikhawatirkan akan memakan waktu panjang dan mengorbankan kepentingan percepatan pemekaran provinsi di Papua.  

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement