Kamis 23 Jun 2022 23:15 WIB

Cegah Radikalisme, Alumni Al Azhar Banten: Ajarkan Mazhab-Mazhab Islam 

Ketua Alumni Al Azhar Mesir wilayah Banten ingatkan bahaya radikalisme

Rep: Muhyiddin/ Red: Nashih Nashrullah
Ketua Alumni Al Azhar Mesir wilayah Banten, Asep Sofwatullah,  ingatkan bahaya radikalisme.
Foto: Dok Istimewa
Ketua Alumni Al Azhar Mesir wilayah Banten, Asep Sofwatullah, ingatkan bahaya radikalisme.

REPUBLIKA.CO.ID, CILEGON– Khilafatul Muslimin pimpinan Abdul Qadir Hasan Baraja telah dilarang kegiatannya karena menyebarkan paham radikal termasuk akan mengubah Pancasila. 

Tokoh Kota Cilegon yang juga Ketua Alumni Al Azhar Mesir Banten, Asep Sofwatullah Lc, berpendapat pendidikan Islam harus mempelajari semua mazhab guna mencegah radikalisme dan sikap menang sendiri. 

Baca Juga

Menurut Asep, lembaga pendidikan Islam perlu mengadopsi kurikulum Al Azhar Mesir. Sebagai perguruan tinggi tertua di dunia, Al Azhar Mesir mengajarkan Islam moderat yang rahmatan lil alamin

Asep dalam kapasitasnya sebagai Ketua Alumni Al Azhar Mesir untuk wilayah Banten dimintai tanggapan terkait daftar Kementerian Agama bahwa ada 30 pesantren terafiliasi Khilafatul Muslimin. 

Asep yang juga Ketua Yayasan KH Wasyid, salah seorang tokoh besar di Cilegon dan Banten yang berjuang melawan melawan Belanda pada 1888. Dalam perjuangan melawan Belanda, gerakan pimpinan KH Wasyid dikenal sebagai Geger Cilegon. 

“Radikalisme itu berbahaya. Untuk mencegahnya, semua lembaga pendidikan Islam harus mengenalkan mazhab besar," kata Asep Sofwatullah. 

Dalam Islam ada empat mazhab besar yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali. Dengan mempelajari berbagai mazhab, umat Islam akan lebih toleran dengan memahami dan menghormati perbedaan. Pasalnya masing-masing mazhab memiliki pendapat yang tidak selalu sama dalam menjalankan ibadah. 

“Dengan mempelajari mazhab utama, umat Islam menjadi tidak fanatik terhadap satu pemahaman tertentu saja. Jadi tidak ada ngotot-ngototan dan merasa benar sendiri. Ini hal yang terpenting, menumbuhkan sikap tolerasnsi,” kata Asep yang juga menjabat Sekretaris Camat Bojonegara, Cilegon. 

Dia memberikan contoh cara wudhu misalnya, ada sejumlah perbedaan. Demikian juga qunut pada saat sholat Subuh dan lain-lain.

“Jadi intinya membentuk umat Islam yang memiliki wawasan luas. Jadi  tidak akan lagi mengkafirkan kelompok lain,” terang Asep Sofwatullah. 

Asep mencontohkan sebelumnya antara orang NU dan Muhammadiyah sering terlibat perdebatan. Namun belakangan, antaranggota kedua organisasi Islam terbesar Indonesia tersebut jarang muncul perdebatan yang berlarut-larut. 

“Ini karena orang Muhammadiyah mempelajari NU, demikian pula orang NU mempelajari Muhammadiyah. Jadi akhirnya saling toleran,” terang lulusan Universitas Al Azhar, Mesir. 

Mengenai Khilafatul Muslimin, Asep menilai banyak pihak yang menyalahgunakan untuk kepentingan orang tertentu untuk berkuasa. “Terus siapa yang menjadi khalifah, nanti akan perang terus tak henti berebut menjadi khalifah,” tutur Asep. 

Menurut Asep, khalifah adalah pemimpin dan Indonesia sudah ada pemimpin yaitu presiden. Dan pemilihan presiden sudah ada mekanisme tertentu yang baku dan diterima semua pihak sehingga tak terjadi perang. 

“Khalifah dalam bahasa bahasa Indonesia adalah pemimpin. Indonesia sudah punya pemimpin yaitu Presiden,” terang Ketua Alumni Al Azhar wilayah Banten tersebut.           

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement