Jumat 24 Jun 2022 13:41 WIB

Penyelidikan Kasus GBLA Lamban, IPW: Kapolda Jabar Harus Dievaluasi

IPW sebut penyelidikan kasus GBLA lamban dan minta Kapolri mengevaluasi Kapolda Jabar

Rep: Ali Mansur/ Red: Bilal Ramadhan
Komisaris PT Persib Bandung Bermartabat, Umuh Muchtar berbicara kepada massa pengunjukrasa di depan Graha Persib, Bandung, Selasa (21/6/2022). Massa bobotoh dari berbagai kelompok suporter berunjukrasa menyusul insiden meninggalnya dua suporter Persib pada laga Persebaya vs Persib di Stadion GBLA akhir pekan lalu. IPW sebut penyelidikan kasus GBLA lamban dan minta Kapolri mengevaluasi Kapolda Jabar.
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Komisaris PT Persib Bandung Bermartabat, Umuh Muchtar berbicara kepada massa pengunjukrasa di depan Graha Persib, Bandung, Selasa (21/6/2022). Massa bobotoh dari berbagai kelompok suporter berunjukrasa menyusul insiden meninggalnya dua suporter Persib pada laga Persebaya vs Persib di Stadion GBLA akhir pekan lalu. IPW sebut penyelidikan kasus GBLA lamban dan minta Kapolri mengevaluasi Kapolda Jabar.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Police Watch (IPW) menilai pengusutan tewasnya dua bobotoh di Piala Presiden oleh Polda Jawa Barat seakan "jalan ditempat". Hingga kini, belum ada seorang pun yang dijadikan tersangka dalam kerusuhan yang menyebabkan Sopiana Yusup dan Ahmad Solihin meninggal dunia.

"Padahal, penegakan hukum menjadi salah satu tugas dan fungsi dari Polri. Namun dalam penanganan kasus kematian suporter di Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA) Kota Bandung, Jumat, 17 Juni 2022 Polda Jabar sangat lamban," keluh Ketua Indonesia Police Watch, Sugeng Teguh Santoso, dalam keterangannya, Jumat (24/6/2022).

Baca Juga

Oleh karena itu, Sugeng meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk mengevaluasi kinerja Kapolda Jawa Barat Irjen Suntana serta mencopot Kapolresta Bandung Kombes Kusworo Wibowo.

Karena, kedua pimpinan di tingkat kewilayahan itu mengkhianati Program Polri Presisi dengan cara mengulur-ulur dan menggantung kasus melayangnya nyawa di Turnamen Pra Musim Piala Presiden.

Karenanya, kata Sugeng, Kapolri patut mencopot kepala satuan wilayah (kasatwil) tersebut agar kepercayaan masyarakat terhadap Polri meningkat. Bagaimana pun, kepercayaan dan kepuasan masyarakat terhadap Korps Bhayangkara menjadi tolok ukur keberhasilan Polri saat ini dan masa mendatang.

"Penanganan kasus kerusuhan melalui penegakan hukum yang terjadi di Stadion GBLA Kota Bandung ini, sangat berbeda jauh dengan kejadian tinju maut Nabire, 14 Juli 2013 yang menelan korban jiwa 18 orang akibat terinjak-injak," ungkap Sugeng.

Ketika itu, lanjut Sugeng, hanya dalam waktu empat hari, tersangka sudah diumumkan oleh Kapolda Papua, yang saat itu dijabat oleh Tito Karnavian. Tersangkanya adalah Nabertus Yeimo yang merupakan Ketua Panitia Penyelenggaran Pertandingan Tinju Bupati Cup dengan dijerat pasal 29 ayat 2 KUHP juncto pasal 25 ayat 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional dengan ancaman penjara maksimal 5 tahun dan atau denda Rp 5 miliar.

Kemudian, sambung Sugeng, pada tanggal 4 September 2013 juga terjadi kerusuhan di Stadion Manahan Solo saat laga Persis Solo melawan PSS Sleman di Divisi Utama Liga Primer Indonesia (LPI).

Sebanyak tujuh orang luka-luka dalam bentrok antar suporter tersebut. Kemudian dalam empat hari, Polresta Surakarta telah menetapkan Roy Saputro selaku Ketua Panitia Pelaksana Divisi Utama Liga Primer Indonesia Sportindo dijadikan tersangka.

"Roy dijerat dengan pelanggaran ketertiban umum pasal 510 ayat 1 KUHP," terang Sugeng.

Pada dua kasus diatas, menurut Sugeng, Polri bergerak cepat mengusut peristiwa pidana untuk membuat terang dengan menetapkan tersangkanya. Tapi, dalam peristiwa kematian dua bobotoh Sopiana Yusup dan Ahmad Solihin, Polda Jabar dan Polrestabes Bandung belum juga mengumumkan tersangkanya.

Padahal, dalam kasus kematian di Stadion GBLA Kota Bandung ini, Indonesia Police Watch (IPW) menilai tersangka bisa terancam penjara maksimal lima tahun pasal 359 KUHP juncto pasal 103 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Sistem Keolahragaan Nasional yang mencabut UU 3 Tahun 2005 dengan ancaman paling lama dua tahun.

Pasal 359 KUHP menyatakan: "barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun".

Sementara pasal 103 UU keolahragaan Nasional menyebutkan: "penyelenggara kegiatan olahraga yang tidak memenuhi persyaratan teknis keolahragaan, kesehatan, keselamatan, ketentuan daerah setempat, keamanan, ketertiban umum, dan kepentingan publik sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar".

"Yang pasti, pihak kepolisian telah mengusut kasus kematian dua bobotoh tersebut dan karenanya harus dijelaskan pada publik hasil penyelidikan dan atau penyidikannya dengan segera," kata Sugeng.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement