REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pengurus Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Ustadz Wawan Gunawan Abdul Wahid menjelaskan tentang peruntukan hewan qurban.
Menurut dia, ayat Alquran telah menegaskan bahwa hewan qurban itu secara garis besar menjadi milik dua kelompok.
Pertama, milik shahibul qurban. Kedua, milik masyarakat yang kurang beruntung yang dalam bahasa Alquran diistilahkan sebagai al-qani’ wal-mu’tar (Surat al-Hajj [22]:36) dan al-bais al-faqir (Surat al-Hajj [22]:28).
"Nisbah saham yang dimiliki shahibul qurban dengan fakir miskin dalam hewan qurban ini adalah 1/3 berbanding 2/3," ujar Ustadz Wawan kepada Republika.co.id, Jumat (24/6/2022).
Menurut dia, hal itu didasarkan pada hadits Nabi Muhammad SAW sebagai berikut:
عَنْ عَمْرَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَتْ سَمِعْتُ عَائِشَةَ تَقُولُ دَفَّ نَاسٌ مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ حَضْرَةَ الأَضْحَى فِى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « ادَّخِرُوا الثُّلُثَ وَتَصَدَّقُوا بِمَا بَقِى
Dari ‘Amrah binti Abdirrahman dia berkata, "Saya mendengar Aisyah berkata, ”Pada zaman Rasulullah SAW orang-orang kampung pada berdatangan berbondong-bondong menyaksikan Idul Adha. Lalu Rasulullah SAW bersabda, ”Simpanlah sepertiganya dan sshaqdakahkanlah duapertiganya.” (HR Abu Dawud).
Peruntukan ini ditegaskan oleh atsar yang diceritakan oleh Abdullah bin Abbas sebagaimana dikutip Abul Hasan Ubaidillah al-Mubarakfuri dalam kitabnya Mir’atul al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashaabih (IX:244) bahwa Nabi Muhammad SAW membagikan daging qurbannya sepertiga untuk keluarganya, sepertiga untuk tetangganya yang miskin dan sepertiga sisanya untuk orang yang minta-minta (wa yuth’imu ahla baithitstsulutsa, wa fuqaraa jiiraanihitstsulutsa wa yatashaddaqu ‘alassuaali bitstsulutsi).
Ustadz Wawan mengatakan, peruntukan hewan qurban ini selayaknya diperhatikan dengan seksama oleh panitia qurban.
Jika tidak yang dikhawatirkan adalah mencuatnya pelanggaran dalam berbagai bentuknya. Salah satu pelanggaran yang acapkali terjadi adalah diambilnya daging tanpa dipastikan terlebih dahulu lewat akad bahwa daging itu milik atau jatah siapa lalu dimasak kemudian dihidangkan sebagai santapan lauk panitia kurban.
Jika tidak dipastikan, maka daging yang dimasak itu masih antara hak shahibul qurban atau hak orang-orang miskin.
Mengambil hak orang miskin tentu tindakan yang tidak terpuji kecuali yang menjadi panitia dipastikan seluruhnya orang-orang yang miskin. Sementara, mengambil hak shahibul qurban tanpa dipastikan terlebih dahulu kerelaannya pun merupakan tindakan yang tidak elok.
Menurut Ustadz Wawan, kerelaan diperlukan kerana sangat mungkin shahibul qurban sudah berkalkulasi bahwa daging qurban yang menjadi haknya akan berjumlah sekian kuantitasnya dan akan dia olah untuk keperluan olahan makanan tertentu.
"Mengantisipasi hal sedemikian itu, kiranya jauh sebelum waktu penyembelihan tiba dimusyawarahkan terlebih dahulu untuk menyepakati antara kerelaan shahibul qurban menyerahkan bagian kecil dari jatahnya untuk konsumsi panitia atau konsumsi panitia itu menjadi kewajiban shahibul qurban yang diwujudkan dalam bentuk dana operaional yang dibayarkan kepada panitia," jelas Ustadz Wawan.