Sabtu 25 Jun 2022 07:26 WIB

Sikap Pelit, ini Penjelasan Secara Psikologis

Orang yang pelit secara psikologi berada dalam level yang berbeda-beda.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Agung Sasongko
Pelit dan mabuk harta (ilustrasi)
Foto: Republika/Thoudy Badai
Pelit dan mabuk harta (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam melarang penganutnya bersifat pelit kepada setiap individu. Selain karena merupakan sifat yang tercela, nyatanya sifat yang satu ini juga menghadirkan dampak yang merugikan diri sendiri maupun lingkup sosial.

Ilmuwan Psikologi Islam Indra Kusuma menjelaskan, secara psikologis, sikap pelit lahir dari adanya mentalitas kelangkaan.Dasarnya, hal tersebut berbasis pada rasa takut atas kekurangan sesuatu. Sehingga seakan dia kekurangan, dia seolah-olah hanya memiliki sesuatu yang terbatas.Tidak mau berbagi, jadi pelit, kata Indra pada Rabu (22/6/2022).

Baca Juga

Orang yang pelit secara psikologi juga berada dalam level yang berbeda-beda. Mulai dari mereka yang enggan memberikan tip, enggan membantu kesulitan orang lain, hingga enggan untuk menunaikan kewajiban materiel yang diembankan dalam sebuah nilai (agama--Red).

Jika dilihat secara psikologi, kata Indra, orang yang pelit sejatinya telah merugikan dirinya sendiri maupun orang lain. Sebab, dengan mentalitas kekurangan yang dimiliki, hal demikian dapat menjadi hambatan baginya dalam menjalin relasi sosial. Dengan begitu, dengan adanya sifat pelit, relasi sosial, seperti dunia kerja maupun lingkungannya, akan menjadi tidak baik.

Sedangkan sifat sebaliknya, adalah mentalitas keberlimpahan.Indra menjelaskan bahwa sifat ini lahir dari kepercayaan diri atas kecukupan yang diperoleh sehingga membuatnya memiliki kelayakan untuk berbagi. Jika seseorang memiliki mentalitas semacam itu, akan berdampak pada semakin baiknya lingkup sosial.

Kalau dalam Islam, bahasanya itu adalah logika syukur. Jadi, kalau bersyukur, rezekinya akan ditambah. Dia punya mentalitas berkelimpahan,ujar Indra.

Adapun orang yang terjerumus dalam sikap pelit secara psikologi penyebabnya didominasi oleh pola asuh yang keliru. Pengaruh orang lain yang signifikan dalam tumbuh kembang anak, kata dia, akan sangat menentukan dan membangun mentalitas anak pada masa depan.

Jika sedari kecil anak diajarkan untuk berbagi, Indra menyebutkan, rasa empati akan tumbuh dan mentalitas keberlimpahan yang dimiliki pun semakin kuat. Hal itu bisa ditanamkan, salah satunya adalah dengan pendidikan yang menitikberatkan pada empati.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطٰنُ كَمَآ اَخْرَجَ اَبَوَيْكُمْ مِّنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْاٰتِهِمَا ۗاِنَّهٗ يَرٰىكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهٗ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْۗ اِنَّا جَعَلْنَا الشَّيٰطِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ لِلَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ
Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.

(QS. Al-A'raf ayat 27)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement