Sabtu 25 Jun 2022 17:34 WIB

Habibie dalam Kabinet Reformasi Pembangunan di Mata Boediono

Boediono mengatakan, Habibie terbiasa dengan forum diskusi dan diskursus.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Ratna Puspita
Wakil Presiden ke-11 Republik Indonesia Boediono
Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Wakil Presiden ke-11 Republik Indonesia Boediono

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden ke-11 Republik Indonesia Boediono mengingat kembali sosok almarhum BJ Habibie saat menjabat sebagai presiden Republik Indonesia. Ketika itu, Boediono yang menjabat sebagai Menteri Negara Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas merasa dia mendapatkan pengalaman yang mencerahkan, mencerdaskan, dan menyenangkan di Kabinet Reformasi Pembangunan.

"Latar belakang beliau (Habibie) sebagai ilmuwan yang terbiasa dengan forum-forum diskusi dan diskursus membuat suasana sidang-sidang kabinet sangat khas," kata Boediono dalam peluncuran buku "BJ Habibie dalam Kenangan" yang disiarkan secara daring, Sabtu (25/6/2022).

Baca Juga

Boediono menceritakan, sidang-sidang kabinet kala itu biasanya dimulai dengan semacam problem setting yang panjang lebar disampaikan oleh Habibie selaku presiden. Setelah itu, dilanjutkan dengan diskusi oleh para anggota kabinet.

Boediono mengaku sering mendapatkan sesuatu yang baru dari diskursus pembuka tersebut. "Saya masih ingat misalnya bagaimana beliau menganalogikan sebuah perekonomian yang mengalami krisis dengan pesawat terbang yang mengalami stall di udara," jelas dia.

Dia mengatakan, sebagai seorang ilmuwan, Habibie menganggap lumrah adanya perbedaan pendapat. Boediono merasa saat itu tidak ada halangan batin untuk menyampaikan pendapat yang berbeda dengan presiden.

Dia pun melihat bagaimana Habibie berusaha untuk mendengar dan mengerti pandangan yang berbeda itu. "Tentu akhirnya pada beliaulah untuk memutuskan," kata dia

Pada kesempatan itu, Boediono mengungkapkan peninggalan-peninggalan yang dimiliki oleh Habibie yang terekam dalam angka. Dia menjelaskan, dalam masa kerja Kabinet Reformasi Pembangunan yang kurang lebih 17 bulan, ekonomi Indonesia saat itu mulai bangkit dari krisis. Ekonomi yang semula terjun bebas dapat direm dan diputar arah.

"Bila pada tahun 1998 PDB menciut minus 13 persen, pada 1999 dapat kembali tumbuh dengan plus 0,8 persen. Inflasi dari tingkat yang sangat tinggi, sudah mendekati hiperinflasi, 78 persen, menjadi hanya dua persen. Kurs rupiah menguat dari Rp 17.000 per dolar menjadi antara Rp 7-8.000 per dolar. Sektor perbankan yang mengalami stroke mulai siuman dan mulai menggeliat kembali," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement