REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aturan penggunaan aplikasi digital PeduliLindungi untuk bisa membeli minyak goreng curah di pasar tradisional dinilai hanya akan mempersulit masyarakat. Padahal, konsumen minyak curah kebanyakan dari kelas menengah ke bawah yang belum tentu dapat mengikuti kebijakan tersebut.
Rusli mengatakan, pemerintah juga harus memperhatikan kesanggupan masyarakat pelosok yang masih terbatas akses internet. Apalagi, konsumen curah biasanya hanya membeli dalam jumlah kurang dari 1 liter sesuai kemampuan ekonominya.
Pemerintah sebelumnya mengatakan bagi yang belum memiliki aplikasi PeduliLindungi masih dapat menggunakan KTP. Namun, kata Rusli adanya dua sistem itu pun bisa menimbulkan tumpang tindih data.
Masyarakat yang tak mau repot bisa saja akan tetap memilih menggunakan KTP meskipun juga membuat konsumen tak nyaman. "Apalagi yang beli ini ya pasti emak-emak yang akan merasa lebih ribet pakai PeduliLindungi," ujarnya.
Ia pun mempertanyakan keinginan dan tujuan dari pemerintah dari kebijakan tersebut. Pasalnya, di satu sisi, menjanjikan harga minyak goreng yang murah namun harus diperoleh dengan cara yang rumit.
Rusli menyarankan agar sebaiknya pemerintah menggunakan sistem subsidi yang diberikan kepada industri di hulu. Mereka yang mendapatkan suntikan subsidi harus menjual sesuai harga yang ditetapkan tinggal pemerintah melakukan pengawasan secara ketat dan tepat.
"Kalau ada cara yang gampang kenapa pilih yang ribet? Ya, kalau KTP kita sudah seperti kartu yang bisa dibaca mesin EDC mungkin oke. Tapi itu kan belum terjadi, baru imajinasi kita," kata dia.
Sementara itu, Sekretaris Yayasan dan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Agus Suyatno, menuturkan, banyak hal yang harus dipertimbangkan sebelum kebijakan itu diterapkan.
Sebab, tidak semua masyarakat yang membutuhkan minyak goreng curah tidak memiliki aplikasi PeduliLindungi dengan ponsel android. "Alih-alih membeli ponsel untuk mengunduh aplikasi, kelompok ini lebih mengutamakan kebutuhan primer," ujarnya.