REPUBLIKA.CO.ID, DUBAI -- Perdana Menteri Irak Mustafa al-Kadhimi tiba di Iran pada Ahad (26/6/2022) sehari setelah ia melakukan perjalanan ke Arab Saudi. Kunjungan itu bertujuan menghidupkan kembali pembicaraan antara negara-negara yang bersaing di kawasan untuk meredakan permusuhan bertahun-tahun, demikian dilaporkan TV Pemerintah Iran.
Iran dan Arab Saudi, kekuatan Muslim Syiah dan Suni paling dominan di Timur Tengah, memutuskan hubungan pada 2016, dan kedua pihak mendukung sekutu yang memerangi perang proksi di seluruh wilayah, dari Yaman sampai Suriah dan di tempat lain.
"Perdana Menteri Irak telah tiba di Teheran dengan delegasi pejabat politik dan ekonomi tingkat tinggi untuk membahas masalah regional dan bilateral," kata TV pemerintah Iran.
Ketegangan antara Iran dan Arab Saudi meningkat semakin tajam pada 2019 setelah serangan terhadap pabrik minyak Saudi yang dituduhkan Riyadh kepada Iran, tuduhan yang dibantah Teheran. Seorang pejabat Iran mengatakan kepada Reuters bahwa "dimulainya kembali pembicaraan antara Teheran dan Riyadh akan dibahas selama perjalanan Khadimi ke Iran".
Pembicaraan putaran kelima diadakan pada April lalu, setelah Iran menangguhkan negosiasi pada Maret tanpa memberikan alasan, tetapi keputusan itu dibuat menyusul eksekusi Arab Saudi terhadap 81 orang dalam eksekusi massal terbesar dalam beberapa dekade. Teheran mengutuk eksekusi tersebut yang menurut para aktivis termasuk 41 Muslim Syiah.
Pada Sabtu, Kadhimi mengadakan pembicaraan dengan penguasa de facto Saudi Putra Mahkota Mohammed bin Salman di Jeddah yang menurut kantor berita negara SPA, termasuk hubungan bilateral dan "meningkatkan keamanan dan stabilitas di kawasan".
Kunjungan Kadhimi dilakukan setelah kebuntuan selama berbulan-bulan dalam pembicaraan tidak langsung antara Teheran dan Washington yang diperkirakan akan berlangsung dalam beberapa hari mendatang untuk mengamankan pakta nuklir 2015 yang mengekang program nuklir Teheran dengan imbalan keringanan sanksi.
Presiden AS Joe Biden diperkirakan akan mengunjungi Riyadh pada pertengahan Juli dan pembicaraan diperkirakan mencakup masalah keamanan Teluk atas akibat program rudal balistik Iran dan jaringan proxy di Timur Tengah.