REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat (Sekda NTB) Lalu Gita Ariadi mengatakan, informasi tentang isu penyusunan RUU Pemekaran Daerah di Provinsi NTB menjadi dua wilayah adalah hoaks.Hal itu merespon berkembangnya kabar di media sosial (medsos), yang membuat banyak orang salah tangkap.
"Hari-hari terakhir ini beredar berita di media sosial tentang rencana DPR RI membahas dan akan mengesahkan lima RUU Pemekaran Daerah. Termasuk Provinsi NTB akan menjadi dua dengan terbentuknya Provinsi Pulau Sumbawa. Rasanya berita tersebut prematur dan menjurus hoaks," ujarnya di Kota Mataram, Provinsi NTB, Ahad (26/6/2022).
Dia mengatakan memang beberapa waktu yang lalu, anggota Komisi II DPR melakukan kunjungan kerja (kunker), antara lain ke NTB. Tujuan kunker adalah sosialisasi hak inisiatif dewan untuk bentuk 13 RUU termasuk menyerap aspirasi tentang pembuatan RUU Provinsi NTB.
Baca: Membawa Pulang Puluhan Manuskrip Ulama Nusantara dari Perpustakaan Leiden
Untuk itu, lanjut Gita, substansi RUU itu bukan pemekaran, tapi penyesuaian dasar pembentukan Provinsi NTB dan kondisi aktual yang dipandang perlu. "Apalagi selama ini, NTB bersama Bali, dan NTT dibentuk dengan Undang-Undang (UU) Nomor 64 Tahun 1958," terangnya.
Menurut dia, pada 5 Juli 1959, keluar Dekrit Presiden untuk kembali ke Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Sedangkan UU Nomor 64 Tahun 1958, yang lahir sebelum Dekrit Presiden mengacu pada Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) saat Republik Indonesia Serikat (RIS). "Hal tersebut dinilai bernuansa federalistik yang tidak sesuai dengan UUD 1945. Karenanya dipandang perlu untuk disesuaikan," tambah Miq Gite sapaan akrabnya.
Selain kawasan Sunda Kecil, sambung dia, Pulau Sulawesi dan Kalimantan juga dibentuk dalam suasana kebatinan yang sama. Sehingga DPR menginisiasi 13 RUU dasar pembentukan masing-masing provinsi dan disesuaikan dengan kondisi terkini. "Jadi, bukan RUU Pemekaran. Karena pemekaran daerah otonomi baru (DOB) masih moratorium," ucap Gita.
Untuk itu, kata dia, kalaupun provinsi di Papua dimekarkan dari dua provinsi menjadi lima, bukan berarti moratorium DOB dicabut. Pemekaran Papua, antara lain adalah amanat UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua. "Ini harus diluruskan, agar tidak menimbulkan disinformasi di tengah masyarakat," kata Gita.
Baca: Petugas Kebersihan Curhat, Penonton MotoGP Mandalika Tinggalkan Sampah Berserakan