REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia diprediksi masih butuh 20 tahun lagi untuk memperbaiki sistem perpolitikan yang ada. Itu berarti sampai dengan Pemilu 2039 mendatang. Hal ini disampaikan Prof Dr Didik J Rachbini, ketua Dewan Pengurus LP3ES, dalam webinar Sekolah Demokrasi LP3ES – KITLV – UNDIP – PPI Leiden bertajuk “Mendorong Kelahiran Pemimpin Alternatif Hasil Pemilu 2024” yang digelar tengah pekan lalu hingga akhir pekan lalu.
Padahal saat ini Indonesia nyaris 30 tahun pascareformasi. Pemilu yang demokratis, dalam artian rakyat memilih wakil rakyatnya di DPRD kabupaten/kota, DPR RI, DPD RI, kepala daerah, hingga presiden wakil presiden sudah digelar sejak 2004. Artinya setelah reformasi pun, Indonesia sudah menempuh empat kali pemilu.
Dalam rilis yang diterima pers, kemarin, menurut Prof Didik, permasalahan di seputar pemilu masih relatif sama. Persoalan krusial yang paling disorot selama webinar Sekolah Demokrasi adalah masifnya politik uang dan tingkat kesejahteraan masyarakat yang berkorelasi dengan sikap permisif politik uang tersebut dan politikus pelaku politik uang.
Sehingga menurut Prof Didik, menjadi amat penting mengkaji, bagaimana mencegah politik uang yang masif. Berkaca ditangkapnya hampir separuh kepala tingkat satu dan dua sejak level gubernur, bupati dan wali kota. Begitupula perihal Komisi Pemberantasan Korupsi yang dilemahkan dan parlemen yang tidak menjalankan lagi fungsi kontrolnya.
Bagi Didik, nampak nyata, demokrasi sebagai sistem modern dijalankan dengan perilaku tradisional. "Ibarat kita mempunyai mobil mewah Mercedes, tetapi digunakan di desa untuk mengangkut sayur mayur," katanya menganalogikan.
Tingkat kesenjangan ekonomi yang tinggi juga menjadi kendala bagi perkembangan demokrasi. Politik uang yang tinggi dengan subsidi yang mengalir ke kelompok-kelompok tertentu merupakan bagian dari korupsi politik masif. "Masuk ke lingkungan politik seperti arena perjudian," kata Didik, lagi. "Jika masuk menjadi anggota parlemen misalnya, tidak terkena kasus di KPK itu sudah merupakan prestasi besar."
Apakah publik harus pasrah dan menyerah? Tidak, menurut Didik. Ia percaya kolaborasi berbagai pihak bisa menjadi jalan keluar. Termasuk para intelektual muda yang tengah merantau di luar negeri, seperti Belanda. Mereka ini, kata Didik, punya daya juang tiga sampai empat kali lebih besar ketimbang mereka yang berada di kampung. Karena banyak hal baru dan ide strategis bisa muncul dari pergaulan internasional di dunia akademis.
Didik juga menyoroti soal banyaknya ide-ide dan gagasan penting yang datang dari kelompok intelektual diam-diam diambil dan diserap oleh para politisi. "Karena ide dari kelompok intelektual akan lebih dihargai dan lebih smooth untuk dijadikan masukan dalam pengambilan keputusan."