Senin 27 Jun 2022 14:05 WIB

Pengamat UI: Kasus Garuda Punya Kesulitan Pembuktian yang Tinggi

Jaksa harus jeli agar kasus tidak dianggap ne bis in idem

Jaksa Agung Republik Indonesia Sanitiar Burhanuddin didampingi Menteri BUMN Erick Thohir, mengumumkan tersangka baru kasus korupsi Garuda, di Kejaksaan Agung, Senin (27/6/2022)
Foto: istimewa/tangkapan layar
Jaksa Agung Republik Indonesia Sanitiar Burhanuddin didampingi Menteri BUMN Erick Thohir, mengumumkan tersangka baru kasus korupsi Garuda, di Kejaksaan Agung, Senin (27/6/2022)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pengamat politik dari Universitas Indonesia Eva Achhjani Zulfa, melihat kasus Garuda merupakan perkara yang cukup rumit. Jaksa harus cermat agar perkara yang sudah pernah ditangani KPK tidak dianggap ne bis in idem atau perkara yang sudah pernah diproses hukum.

“Jaksa yang menangani harus jeli. Jika jaksa tidak memposisikan dengan tepat maka perkara yang ditangani  bisa dianggap ne bis in idem,” kata Eva, Senin (27/6/2022).

Baca Juga

Menurut Eva, kasus Garuda bukanlah perkara mudah, jika jaksa ingin menjadi perkara ini sebagai perkara yang berdiri sendiri, karena deliknya adalah delik akibat. “Wajar kalau tingkat pembuktiannya kerumitannya begitu tinggi, dan kejaksaan harus berhati-hati,” ungkapnya.

Perkara pengadaan dan kotrak pesawat Garuda sebelumnya pernah ditangani KPK. Dalam perkara yang ditangani KPK ini, kasusnya adalah suap.

Eva mengatakan kasus Garuda njilmet (rumit), karena sebetulnya kalau melihat pada kasusnya sendiri, ada beberapa peristiwa yang masing-masing berdiri sendiri. “Katakanlah ada mis manajemen di situ, sehingga berisiko rugi. Kemudian ada isu suapnya, kemudian penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan pribadi,” papar Eva.

Secara teoritis, lanjut Eva, dalam perkara ini ada peristiwa-peristiwa yang merupakan tindak pidana-tindak pidana yang berdiri sendiri.  “Namun jaksa harus jeli melihatnya, apakah satu peristiwa dengan peristiwa yang lain ini terkait atau tidak. Terkait dengan kerugian keuangan negaranya,” jelas Eva.

Jika hanya bicara suapnya saja, kata Eva, maka bisa ditarik sebagai delik perkara yang berdiri sendiri.  Tapi jika ditarik ke persoalan kerugian keuangan negara, lanjut Eva, dari beberapa peristiwa-peristiwa, ini baru dikatakan tindak pidana kalau ada kerugian negaranya. Jika tidak ada kerugian maka hanya dilihat sebagai peristiwa administratif belaka.

“Karena menariknya di akibat, maka jaksa harus jeli apakah ini dianggap sebagai 1 (satu) perbuatan. Atau  atau beberapa perbuatan  ini yang dikatakan sebagai beberapa perbuatan fisik yang akibatnya ke dalam 1 (satu) perbuatan pidana. Atau ini dianggap sebagai satu rangkaian peristiwa yang akibatnya terjadi kerugian negara, yang bisa dihitung (sebagai) beberapa tindak pidana atau bisa dihitung sebagai 1 (satu) tindak pidana,” papar Eva.

Jika tidak jeli memisahkankannya, maka bisa dianggap ne bis in idem . “Kalau dianggap /ne bis in idem. “Kalau dianggap, belum disidangkan sudah ditolak duluan,” ungkapnya. Artinya kasus Garuda bukan perkara mudah jika jaksa ingin menjadi perkara ini sebagai perkara yang berdiri sendiri, karena deliknya adalah delik akibat.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement