Senin 27 Jun 2022 15:04 WIB

Yang Membedakan Kasus Emirsyah Satar di Kejagung dan KPK

Emirsyah Satar kembali ditetapkan tersangka kasus dugaan korupsi di Garuda Indonesia.

Terdakwa kasus suap pengadaan pesawat dan mesin pesawat dari Airbus S.A.S dan Rolls-Royce P.L.C pada Garuda Indonesia Emirsyah Satar saat menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (13/2). Kejagung juga menetapkan Emirsyah sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi di PT Garuda Indonesia. (ilustrasi)
Foto: Republika/Thoudy Badai
Terdakwa kasus suap pengadaan pesawat dan mesin pesawat dari Airbus S.A.S dan Rolls-Royce P.L.C pada Garuda Indonesia Emirsyah Satar saat menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (13/2). Kejagung juga menetapkan Emirsyah sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi di PT Garuda Indonesia. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bambang Noroyono, Muhammad Nursyamsi

Eks Direktur Utama (Dirut) PT Garuda Indonesia, Emirsyah Satar (ES) kembali ditetapkan tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan dan sewa pesawat CRJ 1000 serta ATR 72-600. Sama seperti kasusnya di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Emir ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) bersama mitra bisnisnya, Soetikno Soedarjo (SS) selaku swasta, Dirut di PT Mugi Rekso Abadi (MRA).

Baca Juga

Jaksa Agung ST Burhanuddin menerangkan, status tersangka yang menjerat Emirsyah, dan Soetikno ini, memang beririsan dengan perkara yang pernah ditangani oleh KPK. Namun, dikatakan dia, ada perbedaan objek pidana yang dilakukan penyidikan di Jampidsus Kejagung.

Di KPK, kasus yang memidanakan Emirsyah selama 8 tahun penjara, dan Soetikno selama 6 tahun penjara itu, terkait dengan suap-menyuap, dan gratifikasi pengadaan proyek pembelian Total Care Machine Program Trent Roll-Royce 700, Airbus A330-300/200, dan Airbus A320 untuk PT Citilink Indonesia, anak perusahaan GIAA, serta pesawat CRJ 1000, serta ATR 72-600. 

Adapun, kasus yang ditangani oleh Jampidsus saat ini, menyangkut soal pertanggung jawaban pidana, atas dugaan adanya mark-up dalam proses pengadaan, dan sewa pesawat CRJ 1000 dan ATR 72-600 sepanjang 2011-2021 sebanyak 23 unit. Menurut Burhanuddin, tersangka ES dan SS juga bertanggung jawab atas proses pengadaan yang cacat prosedur, dan dikatakan berdampak pada kerugian negara, dan PT Garuda Indonesia.

Itu sebabnya, kata Burhanuddin, tim penyidik menjelaskan, masih dapat menjerat ES, dan SS sebagai tersangka. Mmeskipun kasus korupsi di Garuda Indonesia tersebut, sudah pernah ditangani oleh KPK.

 

“Jadi, tidak ada nebis in idem (kesamaan dalam objek perkara). Saya tegaskan tidak ada nebis in idem, karena objek perkaranya berbeda dengan di KPK,” begitu kata Burhanuddin dalam keterangan pers bersama, di gedung Kejagung, Senin (27/6/2022).

Burhanuddin juga mengatakan, atas perbuatan tersangka itu, kerugian negara mencapai triliun rupiah. Hal itu diketahui berdasarkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

“Dari hasil audit BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan), kami mendapatkan laporan penghitungan kerugian negara sebesar (Rp) 8,8 triliun,” kata Burhanuddin.

Kepala BPKP Muhammad Yusuf Ateh membenarkan, bahwa kasus dugaan korupsi di PT Garuda Indonesia (Persero) merugikan keuangan negara hingga Rp 8,8 triliun. Ateh menyampaikan, kasus ini terkait pengadaan pesawat jenis CRJ-1000 dan ATR-72 yang berjumlah 23 unit.

"Ini pengadaannya yang nilainya terlalu tinggi sehingga pada saat pengoperasiannya itu, nilai biaya operasionalnya itu lebih tinggi daripada pendapatannya. Ini yang kami hitung mulai dari 2011 sampai 2021," ujar Ateh saat jumpa pers yang sama.

Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan bahwa kolaborasi antara Kementerian BUMN dan Kejagung adalah bukti komitmen bersama untuk menghasilkan perbaikan mendasar. "Ini bukti kalau kita mau berkolaborasi dengan baik antarinstansi pemerintah,  mau dikelola dengan profesional dan transparan, maka mampu menghasilkan yang terbaik bagi negara," ujar Erick.

Erick pun mengapresiasi BPKP yang sejak awal juga aktif membantu Kementerian BUMN dan kejaksaan untuk mengaudit perusahaan negara. Dengan komitmen bersama untuk memperbaiki BUMN, kata Erick, hasilnya nampak dari perbaikan performa sejumlah BUMN, termasuk di dalamnya Jiwasraya, Asabri, dan Garuda.

"Program bersih-bersih BUMN bukan program kita sekadar ingin menangkap tapi bagaimana kita memperbaiki sistem. Bagaimana kita meminimize korupsi itu dengan sistem yang diperbaiki sehingga bisa mencegah korupsi secara jangka panjang," ujar Erick.

Erick pun menegaskan tidak boleh lagi ada BUMN yang menjalankan usahanya dengan proses bisnis yang tidak baik. Ini terutama Garuda yang sejak 2019 proses bisnisnya transparan dan profesional.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement