Cari Aktor Intelektual di Balik Klitih
Rep: Wahyu Suryana/ Red: Muhammad Fakhruddin
Beberapa sketsa kejadian klitih dipajang saat Pameran Klitih di Galeri Lorong, Yogyakarta, Selasa (30/3). Pameran dengan tajuk The Museum of Lost Space ini menceritakan lini masa fenomena klitih di Yogyakarta. Beberapa senjata tajam yang digunakan, pemberitaan klitih di media, hingga wawancara dengan pelaku ada di sini. Pameran karya dari Yahya Dwi Kurniawan ini menjelaskan bagaimana fenomena klitih terjadi, serta mendiskusikan bagaimana solusi kejahatan jalanan ini. | Foto: Wihdan Hidayat / Republika
REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA -- Penanganan kejahatan jalanan atau belakangan disebut klitih di DIY masih kepada pelaku-pelaku dan kelompok-kelompok yang terlibat. Sayangnya, belum ditindak tuntas sampai kepada aktor-aktor intelektual terjadinya aksi tersebut.
Penulis dan konselor keluarga, Deassy Marlia Destiani mengatakan, penerapan jam malam seperti yang diterapkan Yogyakarta belum akan efektif memberantas klitih. Apalagi, dibutuhkan sangat banyak personel kepolisian agar itu bisa maksimal.
Mulai menjaga jalan-jalan, mendeteksi kumpulan anak-anak sampai menanggapi jika ada laporan-laporan warga. Karenanya, ia merasa, penerapan jam malam masih akan jadi sebatas larangan, tapi belum memberantas klitih sampai ke akar persoalan.
Ia menekankan, pemberantasan harus melibatkan segi tiga emas seperti orang tua, sekolah sampai lingkungan. Selain itu, Deassy menegaskan, sangat penting untuk bisa mencari aktor-aktor intelektual di balik terjadinya aksi-aksi klitih itu.
Deassy mengingatkan, tindak kejahatan jalanan yang dilakukan pelaku klitih yang sebagian besar remaja selama ini tidak terjadi begitu saja. Lebih kepada bentuk perpeloncoan, syarat-syarat yang ditetapkan agar mereka bisa masuk ke geng-geng.
"Jadi bukan sekadar melakukan kenakalan ala remaja, bukan itu, mereka itu bisa melakukan tidak tiba-tiba, itu karena mereka ada tantangan dan ada tuntutan dari circlenya, dari gengnya. Ini yang tidak tercium, ini yang membuat klitih berulang ," kata Deassy kepada Republika, Senin (27/6/2022).
Pengelola PAUD Inspiratif itu menilai, jika aktor intelektual di balik aksi itu tidak dicari siklus klitih terus terjadi karena sistem tetap ada. Jadi, sebanyak apapun pelaku ditangkap, akan terus ada karena akan terus ada anak baru masuk.
Terkait masuknya mereka ke geng-geng tersebut, ia melihat, kembali ke kurangnya kasih sayang atau perhatian yang mereka dapatkan di rumah. Selain itu, kurangnya komunikasi dan kurangnya dihargai pendapat maupun keberadaan mereka di rumah.
Ini pula, lanjut Deassy, yang membuat anak-anak merasa betah berada di geng-geng tersebut. Sebab, semua orang mendapat tantangan, semua orang dihargai dan semua orang mendapat perhatian yang sama saat sudah resmi menjadi bagian dari mereka.
"Karena dalam circle geng itu, ketika mereka sudah masuk, sudah diakui, mereka akan all out. Ketika tantangan-tantangan berhasil mereka lakukan, mereka tidak cuma mendapat rasa hormat, bahkan bisa naik level lebih dihormati dari yang lain ," ujar Deassy.
Untuk itu, ia berpendapat, pemberantasan klitih memang tidak bisa cuma dilakukan lewat peraturan-peraturan apalagi pelarangan-pelarangan. Walaupun mengapresiasi perhatian yang diberikan, Deassy merasa, penanganan harus melibatkan semua lini.
Lalu, cari aktor-aktor intelektual yang membuat pengkaderan atau perpeloncoan itu tetap terjadi. Menurut Deassy, selain melibatkan semua lini, aktor-aktor intelektual di balik itu harus ditangkap untuk menghentikan tradisi yang ada.
"Itu yang harus jadi solusi membuat klitih tidak terjadi lagi di Yogya, mau sampai kapan, kalau siklusnya tidak diputus, ini akan terus terjadi, apapun aturan mainnya, siklus itu akan terus terjadi," kata Deassy, menutup.