REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah berencana melakukan ekspor beras ke China lantaran adanya permintaan kepada Indonesia. Namun, Komisi IV DPR mengkritik rencana tersebut lantaran masih dalam situasi krisis pangan dunia. Di satu sisi, data perberasan nasional dinilai belum sepenuhnya valid.
Direktur Jenderal Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian (Kementan) Suwandi mengatakan, China secara tertulis meminta impor beras dari Indonesia sebanyak 2,5 juta ton. Meski demikian, Kementan akan terlebih dahulu memastikan pasokan untuk mengamankan kebutuhan dalam negeri.
"Arahan pimpinan maksimal untuk amankan dalam negeri, nanti ekspor maksimal angkanya seratusan ribu ton saja. Itu gambaran yang kami dapatkan," kata Suwandi dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komis IV DPR, Senin (27/6/2022).
Lebih lanjut, Suwandi menuturkan, hingga Juni 2022, total luas panen padi diperkirakan mencapai 6,2 juta hektare (ha) dengan proyeksi produksi 32 juta ton gabah kering giling (GKG). Jumlah itu setara dengan 18,73 juta ton beras.
Adapun Kementan menargetkan, produksi padi tahun ini sebanyak 55 juta ton. Target itu ditempuh, salah satunya, lewat peningkatan produktivitas padi di atas 6 ton per ha. Sebab selama ini, rata-rata produktivitas padi nasional masih pada kisaran 5 ton per ha.
Ketua Komisi IV DPR, Sudin, lantas mengkritik rencana Kementan. Sebab, langkah ekspor beras bisa membuat persediaan nasional rentan di tengah adanya krisis pangan dunia dan proteksionisme komoditas oleh sejumlah negara produsen pangan.
"Presiden sudah katakan ada krisis pangan dunia. Kenaikan harga pangan di seluruh dunia minimal 15 persen. Bagaimana negara mau ekspor? Data (produksi) 55 juta ton saja belum tentu valid," tegasnya.
Sudin mengatakan, seluruh anggota fraksi Komisi IV juga sudah mengetahui rencana ekspor itu. Menurut dia, para anggota dewan sangsi terhadap kebijakan ekspor beras ke China di tengah situasi saat ini. Apalagi, beras menjadi pangan pokok yang sangat sensitif terhadap masyarakat.
"Jangan main-main dengan masalah pangan. Masalah pangan masalah nasional," katanya.
Dia sekaligus mengkritik pernyataan Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan yang sebelumnya menyebut harga beras di Indonesia lebih murah dari Singapura. Meski Kementerian Perdagangan bukan menjadi mitra Komisi IV, Sudin tetap mengungkapkan, membandingkan harga beras di Indonesia dan Singapura jelas salah.
Sebab, terdapat perbedaan pendapatan per kapita antara kedua negara. Pendapatan masyarakat Singapura lebih tinggi sehingga wajar bila harga beras di sana lebih tinggi dari Indonesia.
"Ini yang kadang-kadang memberikan statement tidak berpikir. Pendapat per kapita beda ya pasti beda harga lah. Jangan bandingkan. Jumlah kemiskinan kita berapa, mereka berapa," tegasnya.
Sementara itu, Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso, mengungkapkan, pihaknya sejak 2019 lalu bahkan sudah hampir melakukan ekspor beras ke Arab Saudi sebanyak 100 ribu ton.
Hanya saja, terganjal regulasi pemerintah karena pasokan beras yang disimpan Bulog milik pemerintah sehingga ekspor dibatalkan. Budi mengatakan, Bulog saat ini tetap menyimpan stok beras di kisaran 1 juta hingga 1,5 juta ton sesuai aturan pemerintah.
Hanya, beras milik Bulog kini rentan mengalami penurunan mutu karena tidak memiliki jaminan pasar setelah tak lagi menjadi penyalur tunggal beras Rastra untuk keluarga tidak mampu.