REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Saat akan melaksanakan sholat umat Islam harus menghadap kiblat. Para ulama sepakat bahwa orang yang mengerjakan sholat wajib menghadap ke arah Masjidil Haram. Hal ini telah ditegaskan dalam Alquran, di mana Allah SWT berfirman,
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۗ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهٗ
Artinya: “....Maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja engkau berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu..,” (QS Al-Baqarah [2]: 144).
Al-Barra juga berkata, “Kami mengerjakan sholat bersama Nabi SAW selama 16 dan 17 bulan dengan menghadap ke arah Baitul Maqdis kemudian beliau menghadapkan kami ke arah Kabah.” (HR Muslim).
Namun, bagaimana sholatnya orang yang menyaksikan Kabah secara langsung? Dalam bukunya yang berjudul “Fiqih Sunnah” terbitan Republika Penerbit, Sayyid Sabiq menjelaskan, dalam mengerjakan sholat, orang yang dapat menyaksikan Kabah diwajibkan menghadap Kabah (bendanya).
Sedangkan bagi yang tidak dapat menyaksikannya, cukup mengarahkan wajahnya ke arah Kabah karena hal inilah yang dapat ia lakukan. Menurut Sayyid Sabiq, Allah SWT tidak memberikan beban kepada seseorang kecuali sesuai dengan kadar kemampuannya. Abu Hurairah RA meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda:
مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ Artinya: “Di antara timur dan barat adalah arah kiblat.” (Diriwayatkan oleh Tirmidzi)
Sayyid Sabiq menjelaskan, hadits tersebut berlaku bagi penduduk Madinah, Syuriah, Aljazair, serta Iraq. Sedangkan kiblat penduduk Mesir adalah di antara timur dan selatan (arah tenggara).
Bagi pendudukan Yaman, timur berada di sebelah kanan orang yang mengerjakan sholat, barat berada di sebelah kirinya. Kemudian bagi penduduk India, timur berada di belakang orang yang sedang mengerjakan sholat, barat berada di depannya. Demikian seterusnya.