REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Mantan Direktur Utama (Dirut) PT Garuda Indonesia 2009-2014, Emirsyah Satar (ES) sebagai tersangka kasus Garuda. Kali ini perkaranya terkait dengan dugaan korupsi yang ditangani Kejaksaan Agung (Kejakgung).
Penetapan ES sebagai tersangka diumumkan langsung Jaksa Agung ST Burhanuddin. SS menjadi tersangka baru bersama dengan Soetikno Soedarjo (SS). Sehingga total tersangka kasus Garuda yang ditangani Kejakgung menjadi lima orang. Selain SS sudah ada tersangka Agus Wahyudo (AW), Setijo Awibowo (SA), dan Albert Burhan (AB).
Kasus Garuda sebenarnya bukanlah kasus baru, sebelumnya perkaranya sudah pernah diproses hukum oleh KPK. Saat itu, perkaranya terkait suap-menyuap dalam pengadaan pesawat Garuda.
Dalam prosesnya, KPK berhasil membuktikan adanya pelanggaran hukum. KPK membuktikan ES menerima suap Rp 5,85 miliar, dan 884.200 dolar AS, serta 1,02 juta euro, dan 1,18 juta dollar Singapura. Suap itu diberikan SS, pendiri PT MRA, dan PT Ardyaparamita Ayuprakarsa yang terafiliasi modal, serta kepemilikan dengan Connaught National Ltd, perusahaan internasional pengadaan pesawat terbang Garuda. Suap tersebut diberikan agar ES, dan HS memuluskan pengadaan proyek pembelian Total Care Machine Program Trent Roll-Royce 700, Airbus A330-300/200, dan Airbus A320 untuk PT Citilink Indonesia, serta pesawat CRJ 1000, serta ATR 72-600.
Pada 2018 kasus ini inkrah. ES, SS, beserta Direktur Teknik GIAA Hadinoto Soedigno (HS) akhirnya masuk penjara. ES dihukum 8 tahun penjara, sedangkan SS, diganjar 6 tahun penjara. Namun pada Desember 2021, terpidana HS, dinyatakan meninggal dunia di dalam penjara.
Saat Erick Thohir menjadi Menteri BUMN, ia memunculkan lagi kasus Garuda. Erick mempercayakan penanganan kasus ini ke Kejakgung. "Penyelesaian ini konkret, tidak setengah-setengah,” kata Erick.
Jampidsus Febrie Adriansyah mengatakan, antara kasus yang sudah ditangani oleh KPK, dan yang dalam penanganan timnya, berbeda dalam objek perkara. “Di KPK yang sudah ditangani, itu adalah suapnya. Dan di kita, kita maju (penyidikan, dan penetapan tersangka) karena objek perkaranya ini lebih luas, sehingga, kita melihat tidak ada nebis in idem,” ujar Febrie di Kejakgung, Senin (27/6).
Itu sebabnya, lanjut Febrie, tim penyidiknya menjerat para tersangka dengan sangkaan Pasal 2 ayat (1), dan Pasal 3, serta Pasal 18 UU Tipikor 31/1999-20/2001.
Sangkaan tersebut, kata Febrie, lebih luas bukan hanya karena terkait suap-menyuap. Namun, lebih kepada perbuatan para tersangka yang merugikan keuangan negara dan membuat Garuda Indonesia mengalami darurat finansial.
“Dari penyidikan, kita menemukan bukti-bukti terkait dengan pengadaan yang tanpa perencanaan, dan pengadaan yang dilakukan secara cacat prosedur, dan melanggar hukum, sehingga harus ada pertanggung jawaban pidana,” terang Febrie.
Adapun peran para tersangka dalam kasus ini, berdasar keterangan Direktur Penyidikan Jampidsus, Supardi, adalah:
Tersangka SA (selaku Vice President Strategic Management Office PT Garuda Indonesia) tak melakukan analisa pasar, dan tak melakukan perencanaan rute terbang dari jenis armada pesawat yang dibeli. Tersangka SA, juga dikatakan, tak melakukan laporan analisa tentang kebutuhan jenis pesawat apa yang sesuai dengan model bisnis penerbangan sipil Garuda Indonesia. Dalam pengadaan pesawat CRJ 1000 dan ATR 72-600 tersebut, pun dilakukan tanpa persetujuan dari para direksi PT Garuda Indonesia. “Tidak terdapat rekomendasi, dan persetujuan dari BOD (Board of Commisoners),” begitu kata Supardi.
Dikatakan juga, ES dan HS, selaku Direktur Utama, dan Direktur Teknik PT Garuda Indonesia, bersama tersangka AW, selaku Executive Project Manager Aircraft Delivery di PT Garuda Indonesia, dan tersangka AB, selaku Vice President Treasury Management PT Garuda Indonesia, dan tersangka SA, melakukan tinjauan dan evaluasi pengadaan pesawat secara sepihak. Namun melakukan penunjukan pemenang tender pengadaan CRJ 1000, dan ATR 72-600 tanpa melalui keputusan bersama dewan direksi.
Sementara tersangka ES, melakukan pelanggaran internal berupa memberikan informasi tentang pengadaan pesawat CRJ 1000 dan ATR 72-600 tersebut kepada tersangka SS. Dari bekal informasi pengadaan pesawat itu oleh ES, tersangka SS, selaku pihak swasta memberikan suap, dan gratifikasi untuk memutuskan pemenang tender pengadaan kepada perusahaan yang terkait, dan terafiliasi dengan PT MRA.