Rabu 29 Jun 2022 07:12 WIB

Studi: Jutaan Pekerja Migran tak Terlindungi Layanan BPJS Ketenagakerjaan 

Perbaikan regulasi dan data PMI kunci perlindungan jaminan sosial

Rep: Febrianto Adi Saputro / Red: Nashih Nashrullah
Ilustrasi pekerja migran Indonesia (PMI). Perbaikan regulasi dan data PMI kunci perlindungan jaminan sosial
Foto: Antara/Aulia Badar
Ilustrasi pekerja migran Indonesia (PMI). Perbaikan regulasi dan data PMI kunci perlindungan jaminan sosial

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kajian yang dibuat Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) menemukan bahwa sekitar 60 persen atau 5,4 juta pekerja migran Indonesia (PMI) tidak terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan atau BP Jamsostek. 

Perbaikan regulasi dan data PMI adalah solusi kunci untuk memastikan jutaan Pahlawan Devisa itu mendapat jaminan sosial.

Baca Juga

Ketua tim Kajian Efektivitas Penyelenggaraan Jaminan Sosial Terhadap PMI di Masa Pandemi Covid-19, Sugeng Bahagijo, mengatakan jumlah PMI mencapai 9 juta orang. "Sekitar 60 persen lebih para PMI itu belum menjadi anggota BP Jamsostek," ujarnya saat pemaparan hasil kajian di Jakarta, Selasa (28/6/2022). 

Mengacu pada angka yang dipaparkan Sugeng, berarti ada sekitar 5,4 juta PMI yang tak terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan. Jumlah PMI yang tak terlindungi layanan jaminan sosial ini akan lebih besar jika mengacu pada pernyataan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker). 

"Kalau kita lihat datanya ada 9 juta PMI ... tapi yang jadi peserta BPJS itu cuma 200 ribu sekian orang," kata Sub Koordinator Bidang Kepesertaan Jaminan Sosial Penerima Upah Kemenaker, Nindya Putri dalam kesempatan sama. 

Berdasarkan hasil kajian, terdapat banyak faktor penyebab rendahnya jumlah PMI yang terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan. Sugeng mengatakan, terdapat tiga faktor utama. 

Pertama, para PMI tidak mendapat informasi, atau tidak mendapat akses untuk menjadi peserta maupun melanjutkan kepesertaan. Bentuk konkritnya adalah tidak adanya kantor BPJS Ketenagakerjaan di negara penempatan PMI. "Layanan sistem online BPJS Ketenagakerjaan juga sulit diakses atau hampir tidak bisa melayani," ujarnya. 

Bagi Sugeng, faktor pertama ini cukup menggelitik sebab, para PMI itu sebenarnya punya kemampuan finansial untuk membayar iuran, tapi malah tidak terdaftar hanya karena minimnya informasi dan tak adanya kanal layanan kepesertaan di luar negeri. 

Faktor kedua, para PMI tak berminat menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan karena manfaat yang ditawarkan tidak sesuai dengan kebutuhan mereka. Contohnya, para PMI mau membayar iuran dan mendapatkan manfaat program Jaminan Hari Tua (JHT), tapi BPJS Ketenagakerjaan tidak menyediakannya. 

Selain itu, imbuh dia, para PMI merasa lebih cocok dengan manfaat yang diberikan konsorsium asuransi yang dulu mereka pakai sebelum adanya BPJS Ketenagakerjaan. Sebab, lebih banyak jenis pembiayaan yang di-cover konsorsium itu jika dibandingkan BPJS Ketenagakerjaan. 

"Jadi selain kurangnya informasi, ada juga faktor tidak cocok dengan menu yang ditawarkan BPJS Ketenagakerjaan. Agar mereka mau menjadi peserta, kita harus menyesuaikan programnya sesuai kebutuhan mereka," kata Sugeng.

Baca juga: Neom Megaproyek Ambisius Arab Saudi, Dirikan Bangunan Terbesar di Dunia

Faktor ketiga, adanya kendala regulasi, institusi, dan operasi. Dua faktor sebelumnya, sebenarnya muncul karena faktor ketiga ini. 

Sugen menyebut, regulasi yang berlaku sekarang tak mengakomodasi kebutuhan PMI. Seharusnya, Kemenaker segera merevisi Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 18 Tahun 2018 tentang Jaminan Sosial Pekerja Migran Indonesia. Revisi itu harus memuat ketentuan terkait penyediaan program-program BPJS Ketenagakerjaan yang sesuai dengan kebutuhan PMI seperti JHT.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement