REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Polisi menangkap lima orang pelaku aksi bullying atau perundungan terhadap remaja berinisial FC (15 tahun) di Kota Bogor. Kendati demikian, Polresta Bogor Kota tidak melakukan penahanan terhadap kelima pelaku, namun diminta untuk wajib lapor.
Kapolresta Bogor Kota Kombes Pol Susatyo Purnomo Condro mengatakan, kelima pelaku merupakan sesama wanita yang merupakan kelompok bermain korban. Kelima pelaku perundungan itu masing-masing berinisial SL (17), JR (12), DS (14), CC (14) dan PT (14). Para pelaku masih ada yang berstatus sekolah tetapi ada pula yang putus sekolah.
“Tidak ditahan, di bawah pengawasan orang tua dan wajib lapor,” kata Susatyo, Rabu (29/6/2022).
Aksi perundungan remaja terhadap korban FC ini, kata dia, dilatarbelakangi perselisihan anggota kelompok. Dimana, korban dituduh oleh para pelaku menjadi biang perselisihan.
Beberapa kali, Susatyo mengungkapkan, para pelaku ingin mengklarifikasi permasalahan tersebut kepada korban. Hingga pada akhirnya, mereka bertemu dan terjadi aksi perundungan atau penganiayaan oleh para pelaku sekira pukul 14.00 WIB di sekitar terowongan Lapangan Sempur Kota Bogor pada 26 Juni 2022.
Aksi perundungan tersebut viral di media sosial. Dimana dalam video tersebut terlihat dua remaja perempuan yang ditonton anak-anak lain, yang salah satunya adalah korban, dirundung dan mengalami kekerasan fisik.
Susatyo mengatakan, dalam perkara perundungan ini, pihaknya akan mengedepankan diversi kepada para pelaku. Lantaran mengingat usia dari mereka masih sangat belia.
“Istilahnya adalah anak berhadapan dengan hukum, ataupun permasalahan-permasalahan terkait dengan anak ada proses diversifikasi, musyawarah ada restorative justice yang akan kami lakukan termasuk konseling secara psikologi,” ungkapnya.
Nantinya, kata dia, pelaku termasuk korban akan dilakukan trauma healing. Sehingga, diharapkan para remaja tersebut masih dapat dibina untuk ke depannya.
Pembimbing Pemasyarakatan Bapas Kelas II Bogor, Julizar Jusuf Hutahaean, mengatakan, akan melakukan pendampingan kepada para pelaku. Menurutnya, pendampingan ini memang kewajiban dari pihak Bapas, mulai dari pemeriksaan kepolisian, kejaksaan hingga sidang pengadilan.
“Diversi ini adalah bentuk dari salah satu restorative justice, penyelesaian perkara di luar pengadilan tetapi harus ada kesepakatan dari dua belah pihak terutama pihak korban,” ucap Julizar.
Di tempat yang sama, Pendamping Dinas Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak (DP3A) Kota Bogor, Aldie Wijaya, mengatakan DP3A akan melakukan trauma healing kepada korban. Namun, sebelumnya akan dilakukan pemeriksaan kondisi psikologis untuk menentukan treatmen yang akan dilakukan.
“Kita sekadar konseling korban, trauma healingnya dan kalau untuk si pelaku mungkin bisa kita edukasinya aja. Nanti kita cek dulu dari psikologinya (korban) dulu nanti setelah dapatkan hasil baru bisa kita tentukan seperti apa,” tutur Aldie.