REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Kepala Direktorat Siber Nasional Israel (INCD), Gaby Portnoy, mengakui Iran bersama dengan kelompok militan, Hizbullah dan Hamas adalah pesaing paling dominan dalam perang siber. Portnoy menambahkan, perang siber antara Teheran dan Tel Aviv terus meningkat.
"Kami melihat mereka, kami tahu cara kerjanya dan kami ada di sana," ujar Portnoy, dilansir Middle East Monitor, Rabu (29/6/2022).
Portnoy mengkonfirmasi bahwa Israel sedang membangun "kubah besi siber" yang akan menggunakan mekanisme dan teknologi baru untuk memperkuat keamanan siber. Sistem tersebut juga akan mengurangi serangan siber, menyediakan data besar baru, dan pendekatan keseluruhan terhadap kecerdasan buatan untuk menyinkronkan deteksi real-time nasional.
Portnoy menyatakan perlunya penerapan protokol keamanan siber bagi masyarakat luas, yang melibatkan penyediaan alat dan keterampilan untuk sektor swasta serta rantai pasokan Israel.
"Kita bergerak lebih cepat dari ketahanan ke pertahanan proaktif dengan menargetkan penyerang secara digital," ujar Portnoy.
Sebelumnya salah satu perusahaan baja besar Iran mengatakan pada Senin (27/6/2022) terpaksa menghentikan produksi setelah terkena serangan siber. Ini menandai salah satu serangan terbesar di sektor industri strategis Iran dalam beberapa waktu terakhir.
Pemerintah Iran tidak menyalahkan kelompok tertentu atas serangan sibet terhadap perusahaan baja milik negara, Khuzestan Steel Co. Ini merupakan contoh terbaru dari serangan yang melumpuhkan layanan negara dalam beberapa bulan terakhir, di tengah meningkatnya ketegangan di wilayah tersebut.
Sebuah kelompok peretas mengaku bertanggung jawab atas serangan tersebut. Mereka mengatakan, serangan itu menargetkan tiga perusahaan baja terbesar Iran karena hubungan mereka dengan Garda Revolusi Iran dan milisi sukarelawan Basij. Kelompok tersebut membagikan rekaman kamera pengawas dari pabrik Khuzestan Steel Co, yang menunjukkan kebakaran besar meletus di jalur produksi billet baja setelah gangguan siber.
"Perusahaan-perusahaan ini dikenakan sanksi internasional dan melanjutkan operasi mereka meskipun ada pembatasan,” kata kelompok itu.