REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengatakan 10 tahun pertama konflik Suriah, yang dimulai pada 2011, telah menewaskan lebih dari 300.000 warga sipil. Data itu adalah perkiraan resmi tertinggi hingga saat ini tentang kematian warga sipil terkait konflik di negara itu.
Konflik dimulai dengan pemberontakan damai antipemerintah yang pecah pada Maret 2011 di berbagai bagian Suriah, menuntut reformasi demokrasi. Konflik yang juga menyusul protes Arab Spring di Mesir, Tunisia, Yaman, Libya dan Bahrain yang menyingkirkan beberapa pemimpin Arab yang telah berkuasa selama beberapa dekade. Namun, konflik itu dengan cepat berubah menjadi perang saudara besar-besaran yang menewaskan ratusan ribu dan menghancurkan sebagian besar negara.
Laporan yang diterbitkan oleh Kantor Hak Asasi Manusia PBB mengikuti apa yang dikatakannya sebagai penilaian yang ketat dan analisis statistik dari data yang tersedia tentang korban sipil. Menurut laporan itu, 306.887 warga sipil diperkirakan tewas di Suriah antara 1 Maret 2011 dan 31 Maret 2021 karena konflik tersebut.
Angka-angka yang dikeluarkan oleh PBB tidak termasuk tentara dan pemberontak yang tewas dalam konflik, jumlah mereka diyakini mencapai puluhan ribu. Jumlah tersebut juga tidak termasuk orang yang dibunuh dan dikuburkan oleh keluarga mereka tanpa memberitahu pihak berwenang.
“Ini adalah orang-orang yang terbunuh sebagai akibat langsung dari operasi perang. Ini tidak termasuk lebih banyak lagi warga sipil yang meninggal karena hilangnya akses ke perawatan kesehatan, makanan, air bersih dan hak asasi manusia lainnya,” kata Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Michelle Bachelet dilansir dari The New Arab, Selasa (28/6/2022).