REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berupaya mempercepat Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan BPR Syariah (BPRS) melakukan transformasi digital. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan daya saing, mendorong inovasi produk, dan meningkatkan kolaborasi dengan institusi lainnya.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan tren kolaborasi dan pengembangan bersama antara BPRS dan teknologi finansial (tekfin) dalam beberapa tahun terakhir, menimbulkan harapan-harapan baru bagi BPRS turut serta dalam era transformasi digital.
“OJK akan mengakselerasi transformasi digital BPR dan BPRS yang mana ini bersifat eksplisit. OJK berkomitmen mempercepat BPR dan BPRS melakukan transformasi digital ini,” ujarnya saat webinar Arah Maju Transformasi Digital BPRS di Indonesia, Kamis (30/6/2022).
Menurutnya inovasi layanan tersebut ditujukan untuk menambah kemampuan BPRS dalam menjangkau, menyediakan, mengelola dan menyalurkan pembiayaan bagi UMKM di berbagai daerah melalui kemudahan teknologi. Sebagai regulator, OJK juga mendorong agar BPR/BPRS masuk ke dalam ekosistem sistem pembayaran berbasis digital maupun melakukan penghimpunan dana di pasar modal melalui penawaran umum.
“Sejalan dengan peta jalan (roadmap) pengembangan perbankan 2021-2025 di Indonesia, termasuk di dalamnya mencakup BPR dan BPRS,” ucapnya.
Arah pengembangan BPR dan BPRS dalam roadmap yang disusun oleh OJK tersebut secara khusus mengedepankan berbagai bentuk dukungan dan dorongan guna terciptanya keunggulan kompetitif dan akselerasi transformasi digital, sehingga penting seluruh unsur di dalam industri BPR dan BPRS dan seluruh mitra strategisnya bersama-sama menjadikan BPR dan BPRS lebih agile, adaptive, kontributif dan resilience dalam memberikan akses keuangan kepada pelaku UMKM dan masyarakat di daerah atau wilayahnya.
Ke depan OJK berupaya memperkuat struktur BPR dan BPR Syariah melalui roadmap atau peta jalan pengembangan BPR dan BPRS.“Dalam menyusun road map pengembangan BPR dan BPRS, kita harapkan BPR dan BPRS menjadi lembaga yang lebih agile, fleksibel, adaptif, dan resilien baik dari sisi kelembagaan maupun kontribusi dalam pengembangan UMKM di daerah masing-masing,” ucapnya.
Dalam peta jalan pengembangan BPR dan BPRS, OJK juga memiliki aspek penguatan peraturan, perizinan, dan pengawasan. Dia mencontohkan perizinan untuk produk baru BPR dan BPRS akan dibuat lebih mudah dengan berdasarkan pada asesmen mandiri.
“Namanya bisnis tidak akan bisa bebas risiko, tapi saya kira yang paling penting secara individual sebelum mengeluarkan produk-produk tertentu, bank sudah bisa melakukan asesmen terhadap potensi risikonya sendiri,” katanya.
Pada awal 2021, Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan Panduan Kerjasama BPR dan Fintech Lending dengan tujuan menjadi acuan bersama dalam membangun kolaborasi di antara keduanya, dan tentu dapat digunakan dalam memahami aspek-aspek kelembagaan, hukum, teknologi dan lainnya untuk mencapai hasil akhir yang optimal untuk terus bersaing.
Selain daripada panduan tersebut, OJK sebagai pengawas BPR/BPRS mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 25/03/2021 tentang Penyelenggaraan Produk BPR/BPRS. Regulasi baru tersebut bertujuan untuk menjadi landasan dan jaminan kepastian hukum bagi BPR/BPRS mencapai level of playing field di dalam industri jasa keuangan kedepannya. Bagi sebagian pihak, POJK 25 tersebut dinilai akomodatif, sehingga dapat meningkatkan persaingan usaha dan service level dari setiap BPR/BPRS. BPR maupun BPRS tidak lagi dinilai dari klasifikasi BPRKU (BPR Berdasarkan Kegiatan Usaha) tapi diberi kesempatan yang sama tergantung pada kecukupan modal, cara penilaiannya, dan penerapan manajemen risiko.
Pada September 2021, total aset BPR dan BPRS mampu bertumbuh 8,90 persen yoy, penyaluran kredit tumbuh 4,33 persen YoY, dan dana pihak ketiga (DPK) tumbuh 11,27 persen yoy.