REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM–Polisi Israel melarang seorang penjaga Masjid Al Aqsa memasuki kompleks rumah ibadah tersebut di Kota Tua Yerusalem selama satu pekan sejak, Kamis (30/6/2022). Mereka bahkan menangkap penjaga situs suci umat Islam tersebut.
Dilansir dari Wafa News, Kamis (30/6/2022), polisi Israel menangkap Sang Penjaga, Isam Najib, pada pagi hari dan memerintahkannya untuk tidak memasuki kompleks, tempat dia bekerja selama satu pekan. Najib lalu dibebaskan setelah beberapa jam.
Penjaga Al Aqsa lain, yang diidentifikasi sebagai Arafat Najib, juga dipanggil untuk diinterogasi. Sementara itu, Direktur Relawan untuk Harapan, sebuah organisasi di lingkungan Beit Hanina yang diduduki Yerusalem, Silvia Abu Laban, dipanggil untuk menghadap intelijen Israel untuk diinterogasi.
Untuk diketahui, Abu Labban sebelumnya pernah ditahan dan diinterogasi berkali-kali oleh Israel.
Yordania selama ini bertanggung jawab atas Kompleks Masjid Al Aqsa dan Wakaf Yerusalem dan stafnya dianggap sebagai pegawai pemerintah Yordania.
Penjaga Masjid sering dilarang memasuki kompleks untuk melakukan tugas mereka dengan mencegah orang-orang Yahudi fanatik melanggar persyaratan kunjungan non-Muslim ke tempat suci yang termasuk mengadakan ritual keagamaan Yahudi.
Orang-orang Yahudi radikal selama ini selalu berusaha untuk melakukan ritual keagamaan dengan dibantu polisi Israel bersama mereka. Polisi mendorong penjaga Al Aqsa untuk campur tangan untuk menghentikan mereka, tapi Polisi akhirnya justru menangkap para penjaga.
Sementara itu, secara terpisah Pengadilan Magistrat Israel di Yerusalem memerintahkan organisasi pemukim Yahudi, Ateret Cohanim untuk mengosongkan Hotel Little Petra, yang terletak di Omar Ibn Al Khattab Square pada 3 Juli. Arab48 melaporkan, perintah ini diputuskan
setelah misi Uni Eropa menyuarakan keprihatinan atas pengambilalihan properti Ortodoks Yunani oleh Ateret Cohanim di Kota Tua, wilayah pendudukan Yerusalem Timur.
Para pemimpin Gereja Ortodoks Yunani Palestina mengecam pengambilalihan properti gereja di Yerusalem Timur oleh ekstremis Israel secara ilegal. Para pemimpin Gereja Ortodoks menyoroti ancaman kepunahan sebagai akibat dari tindakan kelompok radikal Israel.
Organisasi Ateret Cohanim memiliki tujuan untuk menciptakan mayoritas Yahudi di Kota Tua dan lingkungan Arab di Yerusalem Timur. Mereka berupaya membentuk Yahudisasi di Yerusalem Timur untuk mencapai supremasi Yahudi, yang merupakan bentuk pembersihan etnis. Organisasi tersebut membeli properti melalui perusahaan, kemudian memindahkan pemukim Yahudi.
Hukum Israel mengizinkan warga Yahudi untuk "merebut kembali" properti yang dimiliki orang Yahudi di Yerusalem Timur sebelum pembentukan negara Israel pada 1948.
Tetapi warga Arab Palestina tidak memiliki hak untuk melakukan proses yang sama. Kelompok hak asasi mengatakan, praktik ini sebagai contoh praktik apartheid yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina.