Jumat 01 Jul 2022 11:33 WIB

Satelligence Sebut Sawit Bukan Lagi Penyebab Utama Deforestasi Hutan

Perkebunan sawit kerap disebut sebagai penyumbang utama deforestasi.

Perkebunan sawit kerap dituduh sebagai penyebab utama kerusakan hutan.
Foto: Antara/Syifa Yulinnas
Perkebunan sawit kerap dituduh sebagai penyebab utama kerusakan hutan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Perkebunan sawit sering dijadikan kambing hitam atas kerusakan hutan di Indonesia. Padahal pembukaan lahan untuk sawit sudah menurun tajam dan seimbang dengan indutri pulp dan kertas.

“Data kehilangan tutupan hutan yang disampaikan Satelligence mengungkapkan industri kelapa sawit bukanlah industri utama penyebab deforestasi di Indonesia,” kata Founder & CEO Satelligence, Niels Wielaard, dalam siaran pers Jumat (1/7/2022). 

Pernyaaan ini disampaikan Niels Wielaard pada diskusi publik dengan tajuk “Mengintip Penebangan Hutan dari Langit: Benarkah Sawit Pelakunya?” di Kawasan Thamrin, Jakarta Pusat (30/6).

Satelligence adalah sebuah perusahaan Belanda yang bergerak di bidang penginderaan jauh yang memiliki misi untuk menyajikan data realistis mengenai kenampakan bumi melalui citra satelit.

Sejak 2015, kata dia, angka deforestasi untuk pembukaan lahan sawit menurun tajam. Penuruan angka deforestasi tersebut juga dibersamai dengan komitmen dari pemerintah dan sektor swasta untuk menghadapi Kebijakan Tanpa Deforestasi, Tanpa Gambut, Tanpa Eksploitasi (NDPE) yang juga didukung penuh oleh peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Pantauan citra satelit yang diproduksi oleh Satelligence mengkonfirmasi deforestasi untuk tujuan lahan kelapa sawit menurun secara signifikan hingga sama seperti yang terjadi di  2001. Dan pada 2021 angka pembukaan lahan untuk perkebunan sawit seimbang dengan pembukaan lahan untuk tujuan industri pulp dan kertas.

“Ada anggapan bahwa deforestasi turun karena tidak ada lagi hutan yang tersisa, nyatanya kita masih memiliki hutan, Dan yang terjadi adalah kinerja kolaboratif untuk menjaga dan menahan laju deforestasi yang berjalan dengan baik,” terang Niels.

Dipaparkan juga, sebanyak 40 persen lahan sawit di Indonesia dimiliki oleh pekebun rakyat. Tidak semua dari mereka, lanjut Niiels, memulai usaha dari membabat hutan, melainkan mereka menanam sawit pada area yang sudah terdegradasi sebelumnya. “Ini adalah kabar positif bagi para petani sawit,” kata Niels.

Kondisi ini berbanding terbalik dari narasi yang dibangun oleh media-media di berbagai belahan dunia, yang kerap menjadikan kelapa sawit sebagai biang kehancuran hutan.

Sehingga muncul opini negatif dari masyarakat terhadap perkebunan sawit.  Survei yang dilakukan di Eropa menyebut, sebanyak 80% dari responden menyatakan bahwa industri kelapa sawit adalah penyumbang terbesar dalam deforestasi global dan 54% di antaranya menjawab industri peternakan, diikuti kedelai sebanyak 52%, dan 14% lainnya menjawab pulp dan kertas.

“Ada kesenjangan besar yang terjadi antara kelapa sawit dan industri lain pada opini publik. Seperti industri kertas yang ternyata hanya sedikit yang memiliki sentimen negatif terhadap industri ini," ungkap Niels.

Bagi Niels, sudah saatnya dunia mengakui kinerja baik yang dibangun oleh petani dan pengusaha kelapa sawit, serta pemerintah Indonesia. Sehingga capaian positif penurunan laju deforestasi untuk industri kelapa sawit di Indonesia bisa menjadi contoh dan panutan bagi komoditas lainnya di dunia.

Terkait dengan masalah pemantauan dinamika deforestasi dari beberapa komoditas di Indonesia melalui satelit, Niels mengungkapkan terdapat kendala yang cukup menyulitkan, yakni lokasi Indonesia yang kerap ditutupi oleh awan yang cukup tebal. Namun Satelligence memanfaatkan data yang berasal dari satelit radar Sentinel-1 sehingga citra yang didapatkan dapat menembus tutupan awan.

Selain itu dalam mendukung upaya pencegahan deforestasi, Satelligence berkolaborasi dengan para stakeholder di lapangan untuk mengetahui informasi mengenai siapa yang memiliki lahan tersebut, dan bagaimana distribusi komoditasnya, sehinggga mereka bisa melakukan pendekatan ke stakeholder terkait dalam menanggulangi deforestasi.

Lebih jauh Niels menerangkan bahwa data citra satelit yang dimiliki Satelligence salain dapat membantu mencegah deforestasi, namun juga dapat membantu proses reforestasi. “Dengan berkolaborasi dengan stakeholder terkait maka selain fokus dalam mencegah deforestasi kami juga fokus untuk memberikan informasi di mana saja tempat di mana pohon dapat tumbuh kembali dan itu dapat memudahkan mereka melakukan pemberdayaan bagi para petani untuk menjaga stok karbon dalam bentuk tanaman pohon,” paparnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement