REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagian orang kerap mengonsumsi makanan berprobiotik dalam keseharian. Akan tetapi, kandungan probiotik dalam makanan biasanya bisa sangat beragam dan dapat dipengaruhi oleh banyak faktor. Hal ini memunculkan pertanyaan mengenai ada atau tidaknya urgensi untuk mengonsumsi suplemen probiotik meski sudah menyantap makanan berprobiotik.
Secara umum, probiotik terdiri atas bakteri baik yang dapat menunjang kesehatan usus, seperti Lactobacillus acidophilus dan Bifidobacterium lactis. Probiotik ini bisa diperoleh dari makanan dan juga suplemen.
Pada makanan, probiotik bisa ditemukan pada cukup banyak jenis makanan. Sebagian di antaranya adalah tempe, roti sourdough, yogurt, pickle atau acar, natto, sauerkraut, dan buttermilk.
Menurut beberapa studi, konsumsi makanan berprobiotik tak hanya dapat membantu memelihara kesehatan pencernaan. Makanan seperti ini juga bisa memberikan perlindungan terhadap risiko gigi berlubang, serta menurunkan tekanan darah dan inflamasi.
Di sisi lain, saat ini juga ada cukup banyak produk suplemen yang mengandung probiotik. Produk-produk suplemen ini dirancang untuk memelihara keseimbangan flora usus dan mencegah diare terkait penggunaan antibiotik menurut National Center for Complementary and Integrative Health (NCCIH). Suplemen probiotik juga diketahui dapat membantu mencegah atau meringankan sembelit serta memberi manfaat bagi penderita penyakit gusi, gangguan pencernaan, serta alergi.
Akan tetapi, ada beberapa situasi di mana suplemen probiotik bisa membuat kondisi justru memburuk. Menurut NCCIH, suplemen probiotik bisa memicu resistensi antibiotik hingga infeksi bila dikonsumsi oleh individu dengan sistem imun yang lemah. Akan tetapi, suplemen probiotik secara umum aman digunakan oleh orang-orang yang sehat.
Yang kerap menjadi pertanyaan adalah, apakah suplemen probiotik masih perlu dikonsumsi bila orang-orang sudah menyantap makanan berprobiotik dalam keseharian. Hal ini menjadi pertanyaan karena kandungan probiotik dalam makanan bisa sangat bervariasi karena dipengaruhi oleh beragam faktor. Beberapa di antaranya adalah cara pemrosesan makanan dan kondisi penyimpanan makanan.
Menurut sebuah studi pacda 2019 dalam jurnal Nutrients, kondisi tubuh juga bisa mempengaruhi viabilitas probiotik. Kondisi tubuh yang dimaksud adalah kadar enzim, sekresi asam lambung, serta mikrobiota usus.
Berdasarkan hal ini, sebagian orang mungkin berpikir perlu untuk mengonsumsi suplemen probiotik setiap hari. Akan tetapi, hal ini sebenarnya tak perlu dilakukan bila sudah mendapatkan asupan probiotik dari makanan.
Mengacu pada studi 2016 di Genome Medicine, suplemen probiotik tidak memberikan manfaat yang signifikan bagi orang sehat. Selain itu, produk suplemen probiotik tidak membutuhkan perizinan dari Food and Drug Administration (FDA) sehingga sulit untuk mengetahui keamanan dan efikasinya.
Ahli epidemiologi gizi dari MD Anderson Cancer Center, Carrie Daniel-MacDougall, lebih menganjurkan konsumsi makanan berprobiotik dibandingkan suplemen probiotik. Misalnya, mengonsumsi yogurt sebagai cemilan, menyantap tempe sebagai lauk, dan minum teh kombucha sebagai pengganti kopi.