Sabtu 02 Jul 2022 16:04 WIB

RUU KIA Belum Tegas Atur Hak Maternitas Pekerja Perempuan

Peran perempuan sebagai ibu rumah tangga sekaligus pekerja perlu dapat hak spesial.

Red: Ratna Puspita
Rancangan Undang-undang Ibu dan Anak (RUU KIA) dinilai belum tegas mengatur hak maternitas, khususnya hak cuti melahirkan, bagi pekerja perempuan.
Foto: Republika/Mardiah
Rancangan Undang-undang Ibu dan Anak (RUU KIA) dinilai belum tegas mengatur hak maternitas, khususnya hak cuti melahirkan, bagi pekerja perempuan.

REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR -- Rancangan Undang-undang Ibu dan Anak (RUU KIA) dinilai belum tegas mengatur hak maternitas, khususnya hak cuti melahirkan, bagi pekerja perempuan. Peran perempuan sebagai ibu rumah tangga sekaligus pekerja perlu mendapatkan hak spesial terkait hak maternitas.

"Jika ditelaah lebih dalam, RUU itu sebenarnya belum tegas mengatur bagaimana seorang ibu pekerja ini bisa mengambil cuti melahirkan selama enam bulan," kata pemerhati masalah perempuan Dr Hadawiah dari Lembaga LaPIS Medik di Makassar, Jumat (1/7/2022).

Baca Juga

Berkaitan dengan hal tersebut, dia meminta pihak legislator dapat menerima kajian-kajian ilmiah sebagai bahan pertimbangan penyusunan RUU menjadi undang-undang. 

Sebelumnya, Koordinator Perempuan Mahardhika Mutiara Ika Pratiwi mengatakan, lembaganya pada 2017 pernah melakukan sebuah penelitian tentang pengabaian hak maternitas. Hasil dari penelitian itu, lanjut dia, ditemukan 50 persen dari buruh perempuan itu merasa takut saat hamil.

Beberapa pasal RUU KIA menyebutkan setiap ibu wajib memeriksakan kesehatan kehamilan, mengupayakan pemenuhan gizi, dan memeriksakan kesehatan ibu dan anak secara berkala. Hanya saja, lanjut dia, hal tidak bisa dilakukan seorang ibu pekerja saat hamil, karena situasi kerja dengan sistem kontrak.

Hal lainnya, target responden yang sangat tinggi itu melansir jika kondisi kerja memaksa memaksa ibu untuk tidak memberikan ASI eksklusif pada bayinya. “Itu pengakuan dari kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi," ujarnya.

Ia berharap hal itu dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pembuat legislasi. "Di dalam Undang Undang Ketenagakerjaan hanya diatur 3 bulan cuti, namun realitanya itu tidak cukup memang untuk memberikan ASI secara eksklusif," katanya.

Padahal di satu sisi, pemerintah gencar menurunkan stunting di lapangan, sementara salah satu pencegah stunting adalah memberikan ASI eksklusif pada anak selama enam bulan setelah melahirkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement