REPUBLIKA.CO.ID, ALMATY -- Uzbekistan pada Sabtu (2/7/2022) waktu setempat mengumumkan keadaan darurat selama sebulan menyusul protes meluas tentang kedaulatan wilayah otonomi Karakalpakstan. Dekrit tersebut ditandatangani oleh Presiden Shavkat Mirziyoyev setelah demonstrasi yang merangsek ke gedung-gedung pemerintahan di wilayah ibu kota Karakalpakstan, Nukus.
Perintah resmi mengatakan keadaan darurat akan berlangsung dari 3 Juli hingga 2 Agustus. Keputusan tersebut membatasi masuk dan keluar dari provinsi. Semua acara publik juga dilarang.
Dekrit ini juga memperkenalkan pembatasan sementara untuk perlindungan ketertiban umum seperti membatasi masuknya kendaraan dan pencarian individu, dll. Pemerintah Karakalpakstan mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa polisi telah menahan para pemimpin protes Jumat (1/7/2022), dan beberapa pengunjuk rasa lainnya yang telah melakukan perlawanan.
Seusai protes meluas ini, Mirziyoyev kemudian mengumumkan pembatalan rencana untuk membatasi otonomi provinsi Karakalpakstan. Di bawah konstitusi Uzbekistan saat ini, Karakalpakstan merupakan republik berdaulat di dalam Uzbekistan yang memiliki hak untuk memisahkan diri dengan mengadakan referendum.
Versi baru konstitusi mencatat bahwa Uzbekistan berencana untuk mengadakan referendum dalam beberapa bulan mendatang. Versi itu tidak akan lagi menyebutkan kedaulatan Karakalpakstan atau hak untuk memisahkan diri.
Namun dalam reaksi cepat terhadap protes yang belum pernah terjadi sebelumnya itu, Mirziyoyev mengatakan, bahwa perubahan mengenai statusnya harus dibatalkan dari reformasi yang diusulkan. "Draf norma status hukum Republik Karakalpakstan perlu dibiarkan tidak berubah,” katanya seperti dilansir laman Anadolu Agency, Ahad (3/7/2022), .
"Kita pasti akan membangun Uzbekistan baru dan Karakalpakstan baru bersama-sama," ujarnya menambahkan.
Karakalpakstan adalah sebuah republik otonom yang menampung orang-orang Karakalpak. Karakalpak merupakan sebuah kelompok etnis minoritas dengan bahasanya sendiri.
Perubahan mengenai Karakalpakstan adalah bagian dari reformasi konstitusi yang lebih luas yang diusulkan oleh Mirziyoyev, yang juga mencakup penguatan hak-hak sipil dan perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tujuh tahun dari lima tahun. Jika reformasi didukung dalam referendum yang direncanakan, maka aturan baru akan mengatur ulang hitungan masa jabatan Mirziyoyev dan memungkinkan dia mencalonkan diri untuk dua periode lagi.
Baca juga : Presiden Uzbekistan: Tidak Ada Korban Jiwa Dalam Bentrokan Polisi dan Sipil