REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kalau saja Portugis tidak datang, bisa jadi, musik Keroncong tidak akan menjadi bagian dari budaya Indonesia. Sebab, melalui generasi keturunan Portugis di kawasan Tugu, keroncong itu dikembangkan dan dilestarikan.
Namun, kondisinya tidak seideal yang dibayangkan. Serupa dengan budaya lain di Indonesia, musik keroncong juga terancam punah. "Itulah tantangan zaman," papar Andre Juan Michelis, generasi kesepuluh keluarga Michelis, salah seorang sesepuh Kampung Tugu, kepada Republika, Ahad (3/7).
Dikatakan Andre, menurunnya minat terhadap musik keroncong terjadi disetiap generasi. Kondisi itu, menurut dia, kurangnya pemaknaan keroncong di generasi muda. Minimnya pemaknaan itu menyebabkan keroncong tidak lagi dipandang sebagai identitas. "Kondisinya, ketika pemuda melihat musik Keroncong, hanya Oh saja, atau Ah tua," kata dia.
Prihatin dengan kondisi itu, Andre coba mendekati kaum pemuda. Pendekatan itu dimulai dari pemuda-pemudi yang aktif di Gereja. Mereka oleh Andre dididik dan diperkenalkan dengan keroncong. Walhasil, melalui kelompok Kerontjong Tugu miliknya, pemuda-pemudi tadi mulai menyadari pentingnya keberadaan musik keroncong Tugu. "Kebanyakan memang masih dari kerabat saya," kata dia.
Seniman Keroncong, Yoyo Mucthar mengatakan merupakan sebuah tantangan untuk melestarikan musik keroncong. Tantangan itu perlu dijawab oleh pemerintah, lembaga kebudayaan dan masyarakat. "Hanya mengandalkan seniman saja, tidak mungkin," katanya.
Menurut dia, perlu ada semacam langkah kreatif guna mengembalikan keroncong pada jalur yang benar. Langkah kreatif itu bisa melalui pendidikan. Semisal, menjadikan musik keroncong sebagai muatan lokal yang perlu dipelajari, dikaji dan dipraktekan.
Malaysia, kata Yoyo, sudah menkadikan musik Keroncong sebagai materi pelajaran. Yang menjadi masalah, Indonesia belum melakukan itu. Alih-alih dijadikan materi pembelajaran wajib, keberadaan musik Keroncong sekedar ada saja. "Saya khawatir ke depan, ketika kita mau belajar keroncong, maka kita harus belajar ke keluar," kata dia.
Untuk itu, Yoyo mengharapkan agar persoalan ini diperhatikan betul. Menurut dia, musik keroncong milik bangsa Indonesia. Jangan anggap musik keroncong hanya milik orang Tugu, betawi atau Jawa. "Inklusifitas hanya membuat bangsa kita terlihat kaku," pungkas dia. Agung sasongko