REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Masih banyak fasilitas umum seperti hotel, rumah sakit dan restoran di Jakarta, yang belum memikirkan musala sebagai aspek penting dalam menjaring pelanggan dan menganggap penyediaan musala sebagai 'pemborosan' bagi manajemen. "Hasil penelitian marketing etnografi menunjukkan hal tersebut," kata ahli etnografi Amalia E. Maulana Ph.D, kepada ANTARA di Jakarta, Jumat (22/7).
Berbeda dengan fasum premium seperti rumah sakit, hotel dan restoran, pusat perbelanjaan seperti mal yang dibangun dalam kurun waktu lima tahun terakhir tergolong paling serius memikirkan kehadiran musala. "Rupanya pengelola mall sudah menyadari benar bahwa pembangunan musala merupakan sebuah 'keharusan' yang mesti direncanakan sejak awal," kata Amalia.
Menurut dia, penelitian marketing dengan pendekatan etnografi dilakukan melalui peninjauan langsung terhadap konsumen di lokasi (tempat) mereka berinteraksi, sehingga mampu memberikan gambaran yang paling mendekati kebenaran atas obyek yang ditelitinya, khususnya bila ia menyangkut perilaku konsumen dalam kehidupan sehari-hari.
Amalia menyampaikan hasil peneleitiannya dalam jumpa pers. Dua pembicara lain dalam konperensi pers itu adalah dosen komunikasi dan peneliti di Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina Syafiq Basri Assegaff, dan Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia Handaka Santosa.
Dalam penelitiannya, Amalia membagi responden berdasarkan tiga faktor, yakni lamanya waktu mereka berada di fasilitas umum, tingkat ketaatan mereka pada agama, dan kepedulian mereka pada kebersihan. Hasilnya, mayoritas pengunjung menginginkan adanya musola yang 'keren' pada fasilitas-fasilitas umum itu.
"Musala merupakan aspek penting dalam memenuhi kepuasan pengunjung, dan tidak kalah penting dibandingkan prasarana lain seperti ruang rapat, cafe, lahan parkir, atau ruang menyusui bagi para ibu," kata direktur Etnomark Consulting itu.
Sebabnya tak lain karena saat ini sebagai fitur jasa atau produk musola sudah bergeser dari 'peningkat kepuasan' (augmented benefit) menjadi 'manfaat yang diharapkan' (expected benefit), yaitu jenis manfaat yang terintegrasi dan merupakan sebuah 'keharusan' bagi konsumen, tambah Amalia.
Di antara aspek yang perlu dibenahi dalam memenuhi faktor 'expected benefit', sebuah musola adalah lokasi, kenyamanan, dan kebersihan mukena dan sarung, sebagaimana handuk di hotel yang dicuci setiap hari.
Usaha untuk Menarik Pengunjung
Sebagian pengelola mal sebenarnya sudah menyadari pentingnya musala yang baik atau 'keren' itu. "Jujur harus kami akui bahwa musala yang nyaman dan bagus menjadi salah satu usaha kami untuk menarik pengunjung, apalagi bila melihat bahwa sekitar 90 prosen pengunjung adalah orang Islam," kata CEO Mall Senayan City, Handaka Santosa, yang merupakan salah satu pusat perbelanjaan ternama di Jakarta.
Senayan City adalah salah satu unit usaha di bawah Agung Podomoro Land. "Kita harus membuat pengunjung nyaman, sehingga semakin lama orang berada dalam kompleks mall, makin bagus bagi bisnis kami," tambah Handaka, yang juga Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia.
Menurut Handaka, di Jakarta terdapat 68 mall dan pusat perdagangan (trade centres). Apa yang dikemukakan Amalia dan Handaka itu sejalan dengan kenyataan makin tingginya kepedulian terhadap agama di kalangan masyarakat perkotaan di Indonesia.