REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR – Peraturan Daerah (Perda) Kota Bogor No. 12 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) tidak melihat kondisi obyektif masyarakat Indonesia. Perda KTR Merupakan produk hukum yang menyudutkan pelaku industri rokok nasional, namun menguntungkan pengusaha rokok asing.
"Peraturan tentang rokok seringkali menafikan kenyataan bahwa industri rokok menyerap tenaga kerja dan menyumbangkan devisa yang besar untuk negara," ujar Salamudin Daeng, penulis buku Kriminalisasi Berujung Monopoli, dalam diskusi Menggugat Perda KTR, Rabu (28/12) di Kota Bogor.
Dalam penilaiannya, kebanyakan regulasi yang dibuat pemerintah tentang rokok, biasanya disponsori lembaga-lembaga asing. "Tujuannya, agar lembaga asing itu bisa memberikan keleluasaan kepada pengusaha rokok asing untuk memonopoli dan menguasai pangsa pasar rokok di Indonesia," jelasnya.
Senada dengan Salamudin, Ahmad Suryono, kuasa hukum penulis buku Kriminalisasi Berujung Monopoli mengatakan, lahirnya Perda KTR cacat secara hukum. Perda tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia dan Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2009 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan.
Dikatakan Suryono, sejumlah poin yang terdapat di Perda KTR, gagal memenuhi azas kejelasan tujuan dan rumusan, sebagaimana diatur UU No. 12 tahun 2011. Ia mencontohkan Pasal 7 ayat 2 huruf g dan h Perda KTR menyebutkan kata "sarana" yang maknanya berbeda dengan kawasan. "Poin dalam Perda bertentangan dengan judul Perda," tegasnya.
Sementara itu, Ketua LSM Aliansi Masyarakat Anti Rokok (Amar) menyatakan, hak azasi seorang perokok bisa dibatasi apabila perbuatannya telah mengganggu orang lain. Melalui Perda ini, kata dia, Pemerintah Kota Bogor hendak mengatur perokok untuk merokok di kawasan yang berpotensi mengganggu orang lain. "Harus dipahami. Perda ini tidak melarang orang merokok, tapi hanya mengatur tempat untuk merokok," katanya.