REPUBLIKA.CO.ID, KARAWANG – Dana kompensasi dari Pemerintahan Belanda kepada 10 janda dan saksi hidup kasus pembataian Rawagede, diduga disunat. Janda dan saksi hidup yang melakukan gugatan tersebut, mendapatkan kompensasi sebesar 20 ribu Euro atau setara dengan Rp 225 juta.
Akan tetapi, ketika uangnya sudah mereka terima, aparat desa setempat diduga menyunatnya. Cawi, salah satu ahli waris korban pembantaian Rawagede, mengatakan, pada 2 Desember lalu Pemerintah Belanda sudah meminta maaf kepada warga Kampung Rawagede, Desa Balongsari, Kecamatan Rawamerta.
Setelah permintaan maaf itu, Belanda memberikan kompensasi uang ganti rugi. Uang tersebut, langsung ditransfer ke rekening masing-masing ahli waris. Akan tetapi, setelah uangnya diterima, aparat desa langsung meminta bagian. "Uang yang diminta desa sebesar Rp 100 juta," kata Cawi, kepada sejumlah wartawan, Jumat (23/12).
Cucup Hendrawan (32), cucu Tijeng, yang merupakan janda korban pembantaian, mengaku setelah menerima uang kompensasi tersebut, seluruh ahli waris dipanggil ke kantor desa. Dalam pertemuan itu, dibahas mengenai dana tersebut. Pihak desa meminta, supaya ahli waris yang menerima uang kompensasi bersedia membagi separuhnya dengan ahli waris lainnya.
Pasalnya, di Kampung Rawagede ini masih terdapat 171 ahli waris korban pembantaian. Namun, mereka tidak mendapatkan dana kompensasi dari Belanda. Karena, saat 10 janda dan saksi hidup melakukan gugatan ke Belanda, 171 ahli waris tersebut diam saja. "Tapi, ketika uangnya sudah ada mereka meminta bagian," kata Cucup.
Sebenarnya, para janda yang menerima uang kompensasi itu ingin menyumbangkan sebagian dana tersebut. Namun, besarannya tidak ditentukan oleh aparat desa. Melainkan, berdasarkan keikhlasan masing-masing. Tadinya juga, Nenek Tijeng (neneknya Cucup) hendak memberikan sebesar Rp 50 juta bagi korban yang tidak menerima dana itu. "Tapi, aparat desa memintanya lebih besar," kata Cucup.
Secara terpisah, Kepala Desa Balongsari, Kecamatan Rawamerta, H Mamat, membantah jika instansinya menyunat dana kompensasi korban pembantaian Rawagede. Justru, pihak desa berupaya menengahi permasalahan dana tersebut. Biar bagaimanapun juga, dana tersebut jadi masalah. "Karena, korban pembantaian Rawagede itu tidak hanya 10 janda dan seorang saksi hidup (Pak Said) saja. Melainkan, ada 171 ahli waris lainnya. Jika yang 10 orang ini menerima, ahli waris lainnya akan protes," kata Mamat.
Supaya tidak terjadi masalah, desa sudah mengumpulkan seluruh ahli waris yang masih hidup itu. Dalam pertemuan tersebut, diambil kesepakatan. Mereka yang menerima dana kompensasi akan memberikan Rp 100 juta bagi warga lainnya. "Dana tersebut akan dibagikan kepada ahli waris yang belum menerima kompensasi," Mamat menambahkan.
Ketua Yayasan Rawagede, Sukarman, mengaku tidak tahu menahu soal pencairan dana kompensasi itu. Karena Pemerintah Belanda langsung mentransfernya ke rekening masing-masing. Begitu pula dengan keputusan kepala desa yang meminta separuh uang kompensasi itu. "Yayasan tidak dilibatkan," ujar Sukarman.
Seharusnya, kata Sukarman, ahli waris dan pemerintahan desa ini melibatkan yayasan. Biar bagaimanapun juga, yayasan telah membantu para janda ini untuk menggugat Belanda. Namun, ketika sudah ada hasil, ternyata yayasan tidak dipandang lagi.