REPUBLIKA.CO.ID, LHOKSEUMAWE - Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Utara Tgk H Mustafa Ahmad menegaskan, Pemilihan Putri Indonesia (PPI) bukan budaya Islam, sehingga tidak tepat bila dilaksanakan di Provinsi Aceh. "PPI itu bukan budaya Islam, sehingga tidak tepat dilaksanakan di Aceh yang sedang melaksanakan syariat Islam," katanya di Lhokseumawe, Jumat (22/7).
Ia menyatakan hal itu terkait pelaksanaan PPI di tiga wilayah di Provinsi Aceh dan finalnya akan berlangsung di Lhokseumawe. Ia menyatakan, dalam Islam tidak diajarkan tentang pemilihan putri, apalagi tujuannya hanya untuk dikenal dan ditonton oleh banyak mata termasuk para laki-laki yang bukan muhrimnya.
Dikatakan, dalam Islam kaum wanita bukan untuk dipertontonkan apalagi diperlombakan kecantikannya, keindahan bentuk tubuhnya dan hal-hal lainnya yang ikut dinilai dalam pemilihan tersebut. "Bahkan, apabila ada kaum laki-laki yang menjadi juri dalam pemilihan tersebut, juga haram," tegasnya.
Disebutkan ulama kharismatik itu, PPI tidak sesuai dengan kondisi Aceh yang berlandaskan syariat Islam. "Dalam Islam tidak ada pilih-pilih perempuan untuk hal tersebut. Setelah terpilih wanita-wanita itu, mau dibawa kemana dan apa tujuannya," ujarnya.
Bahkan Tgk Mustafa mempertanyakan untuk apa PPI diadakan. "Apakah wanita yang ada di Aceh tidak termasuk sebagai putri Indonesia, sehingga harus digelar kegiatan-kegiatan yang tidak ada faedahnya itu," katanya.
Terkait adanya tes baca Al Quran bagi para finalis wanita yang ikut dalam kontes PPI, ia menilai hal itu hanya sebagai upaya untuk mengalihkan perhatian saja, khususnya untuk meredam tanggapan miring tentang kegiatan tersebut. Tgk Mustafa kembali mengingatkan bahwa PPI bukan budaya Islam, melainkan adopsi dari budaya asing yang bukan Islam, namun sekarang justru diikuti umat Islam.
Oleh karena itu, katanya, sebaiknya PPI tidak dilaksanakan di Aceh karena tidak ada faedahnya. "Kita disuruh berlomba-lomba dalam hal beribadah dan berbuat kebaikan, bukan di bidang kecantikan dan hal lainnya yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Ini adalah pandangan non Islam yang disusupkan ke dalam Islam. Oleh karena itu, Pemerintah Aceh harus memahami hal ini dengan serius," tandasnya.