Senin 04 Jul 2022 16:02 WIB

Ini Penyebab Kasus Stunting di Kota Bandung Tinggi

Tiga dari sepuluh atau 24 persen anak Indonesia berpotensi mengalami stunting.

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Andi Nur Aminah
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bandung, Ahyani Raksanagara
Foto: Humas Kota Bandung
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bandung, Ahyani Raksanagara

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Indonesia menjadi negara dengan jumlah kasus stunting terbesar kedua se-Asia Tenggara, setelah Timor Leste. Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) pada 2021, tiga dari sepuluh atau 24 persen anak Indonesia memiliki potensi besar mengalami stunting

Kepala Dinas Kesehatan Kota Bandung Ahyani Raksanagara mengatakan, meski angka stunting di Kota Bandung telah mengalami penurunan 1,34 persen dari tahun sebelumnya, namun jumlah kasus stunting di Kota Bandung masih tergolong tinggi. Angkanya mencapai sebanyak 7.568 balita, berdasarkan data Dinkes Kota Bandung tahun 2021.  

Baca Juga

Dia mengatakan, terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan tingginya angka stunting di Kota Bandung. Salah satunya adalah lingkungan yang tidak sehat. Menurutnya buruknya kondisi sanitasi dan kebersihan lingkungan dapat berdampak pada tumbuh kembang anak, termasuk juga pada penjaminan gizi ibu hamil. 

“Faktor kedua adalah stres, kami pernah melakukan survey pada IRT (ibu rumah tangga), ditemukan tingkat stres sampai 60 persen lebih, baik karena depresi, finansial, mental, dan lainnya,” kata Ahyani dalam diskusi bertajuk Kesehatan Keluarga dan Dampaknya pada Stunting di Kota Bandung, yang diadakan di Gedung Gelanggang Generasi Muda, Kota Bandung, Senin (4/7/2022). 

Pakar Kesehatan dr Elvine Gunawan mengatakan hal yang paling mendukung bertambahnya kasus stunting adalah kesendirian (loneliness). Maka diperlukan lingkungan dan keluarga yang dapat saling mendukung dan bersama mengantisipasi timbulnya stres pada ibu maupun anak. 

Stunting itu multifaktor. Stimulus sosial itu hal yang paling penting untuk anak. Kalau lingkungan sehat, itu akan menjadi faktor baik untuk tumbuh kembang bagi anak,” kata dr Elvine dalam kesempatan yang sama. 

Dia juga mengaku menyayangkan sikap masyarakat yang masih menganggap remeh bahaya stunting. Menurutnya, perlu penggencaran edukasi di posyandu-posyandu ditambah pemantauan dan pemeriksaan mendalam secara berkala. 

Upaya edukasi yang dilakukan Dinkes Kota Bandung salah satunya adalah untuk mendorong pencegahan pernikahan dini. Jika merujuk pada data BPS tahun 2021, diketahui bahwa pernikahan di bawah umur, di bawah 16 tahun, di Kota Bandung masih mencapai 8,81 persen, atau sekitar 300 ribu anak di bawah umur sudah menikah.

“Jadi kita edukasi masyarakat supaya pernikahan di bawah umur itu tidak terjadi, karena resikonya sangat tinggi. Kita edukasi soal kesehatan ke masyarakat, itu ada tim kesehatan siaga, jadi kalau ada masalah kesehatan kita selalu siap siaga 24 jam,” ujar Ahyani.   

Menurutnya, pernikahan dini memang dapat disebut sebagai akar terkuat terjadinya stunting. Karena tingginya potensi ketidaksiapan mental orang tua muda dalam membesarkan anak. 

Ini juga jelas berseberangan dengan Undang-undang nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, bahwa batas usia pasangan yang menikah minimal berusia 19 tahun. Sedangkan menurut Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), usia pernikahan pertama idealnya adalah berusia 21 hingga 25 tahun.

“Diperlukam kolaborasi untuk menginformasikan kepada masyarakat kalau masalah stunting itu krusial. Kita berharap dengan mengomunikasikannya dengan kegiatan seperti ini bisa menginspirasi masyarakat agar lebih sadar,” ujarnya. 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement