REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) telah menyampaikan sejumlah pertimbangan atas naskah Rancangan Undang-Undang KUHP (RKUHP) per September 2019. Salah satunya menyangkut ketentuan mengenai pengecualian tindak pidana aborsi.
Pertama, Komnas Perempuan menyoroti urgensi untuk memastikan harmonisasi RKUHP dengan UU Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Komnas Perempuan ingin RKUHP menjamin enam jenis kekerasan seksual ini sebagai tindak pidana kekerasan seksual.
"Yakni perkosaan, pencabulan dan persetubuhan, tindak pidana terhadap perkawinan, melarikan anak dan perempuan untuk tujuan perkawinan, pemaksaan aborsi, dan pemaksaan pelacuran," kata Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani dalam keterangan pers yang dikutip Republika.co.id pada Senin (4/7/2022).
Kedua, Komnas Perempuan menekankan harmonisasikan RKUHP dengan Pasal 4 ayat (2) UU TPKS lewat memasukkannya ke dalam Bab XXXIV Tentang Tindak Pidana Khusus Bagian Keenam RKUHP. Kemudian perlu penegasan dalam Ketentuan Peralihan RKUHP.
"Sehingga korban kekerasan seksual yang diatur di RKUHP dapat mengakses hak korban atas penanganan, perlindungan dan pemulihan yang diselenggarakan sebelum, selama, dan setelah putusan peradilan pidana sebagaimana yang dijamin dalam UU TPKS," ujar Andy.
Ketiga, Komnas Perempuan ingin memastikan unsur tindak pidana kekerasan seksual yang diatur di dalam RUU KUHP tidak bertumpang-tindih dengan unsur tindak pidana kekerasan seksual yang diatur dalam UU TPKS. Komnas Perempuan meyakini perlunya perluasan ketentuan mengenai pengecualian tindak pidana aborsi bagi perempuan korban termasuk penyandang disabilitas dan bagi semua korban tindak pidana kekerasan seksual yang dapat berakibat kehamilan. "Sehingga tidak terbatas untuk perempuan korban perkosaan saja," ucap Andy.
Diketahui, catatan Komnas Perempuan tersebut didasari draft RKUHP yang mencuat ke publik pada 2019. Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej berdalih pemerintah memang belum menyerahkan draf terbaru dari RKUHP. Alasannya, masih banyaknya salah ketik atau typo dalam drafnya.
Pemerintah mengklaim tak ingin terburu-buru untuk menyerahkan draf RKUHP kepada DPR. Pemerintah berkaca pada pembahasan rancangan undang-undang (RUU) Cipta Kerja yang disorot publik karena adanya typo setelah pengesahannya.