Senin 04 Jul 2022 17:38 WIB

Studi: Ibadah Qurban Bantu Kurangi Ketimpangan Konsumsi Daging di Indonesia

Ibadah qurban mempunyai hikmah dimensi sosial untuk berbagi daging ke orang lain

Rep: Fuji E Permana/ Red: Nashih Nashrullah
Warga mendistribusikan daging qurban (Ilustrasi). Ibadah qurban mempunyai hikmah dimensi sosial untuk berbagi daging ke orang lain
Foto: Republika/Thoudy Badai
Warga mendistribusikan daging qurban (Ilustrasi). Ibadah qurban mempunyai hikmah dimensi sosial untuk berbagi daging ke orang lain

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Besarnya potensi daging yang dihasilkan dalam pelaksanaan qurbanberpeluang menurunkan ketimpangan konsumsi daging yang jika diukur dengan rasio gini, sangat tinggi yakni di atas 0,6. 

Peneliti Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Askar Muhammad, pada 2021, rata-rata penduduk di persentil tertinggi (1 persen kelas terkaya) mengkonsumsi 4,52 kg daging kambing dan sapi per tahun, 230 kali lebih tinggi dari rata-rata penduduk di persentil terendah (1 persen kelas termiskin) yang hanya mengkonsumsi 0,02 kg daging per tahun. 

Baca Juga

"Kesenjangan konsumsi daging tidak hanya terjadi antarkelas ekonomi namun juga antar daerah, bahkan juga terjadi antardaerah di Jawa. Misal pada 2021, konsumsi rata-rata daging di Jakarta Pusat tercatat 1,73 kg per tahun, 40 kali lebih tinggi dari konsumsi Kabupaten Pandeglang yang tercatat hanya 0,04 kg per tahun," kata Askar melalui pesan tertulis yang diterima Republika.co.id Senin, (4/7/2022). 

Askar menambahkan, dengan potensi daging yang mencapai 106,2 ribu ton, maka qurban berpotensi memperbaiki tingkat gizi dan kesehatan masyarakat. Jika ada pendistribusian daging qurban terutama kepada kelompok termiskin dan daerah minus kurban. 

"Tanpa rekayasa sosial, distribusi daging qurban berpotensi hanya beredar di wilayah yang secara rata-rata konsumsi dagingnya justru sudah tinggi," ujar Askar.

Temuan IDEAS menunjukan, daerah-daerah surplus daging qurban terbesar seluruhnya tercatat sebagai wilayah dengan konsumsi daging yang tertinggi seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya. 

Sebaliknya, daerah-daerah defisit daging qurbanterbesar seluruhnya tercatat sebagai wilayah dengan konsumsi daging yang terendah seperti Kabupaten Temanggung, Kabupaten Pandeglang, dan Kabupaten Ngawi. 

"Dari simulasi kami, daerah dengan potensi surplus qurbanterbesar didominasi daerah metropolitan Jawa, seperti Jakarta (7.451 ton) dan Bandung, Cimahi dan Kabupaten Sumedang (6.804 ton)," jelas Askar. 

Daerah surplus qurban terbesar lainnya adalah Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul (4.146 ton), Bogor, Depok dan Kabupaten Sukabumi (2.892 ton), Bekasi (2.135 ton), Kota Tangerang dan Tangerang Selatan (2.048 ton), Surabaya dan Kabupaten Sidoarjo (2.036 ton), dan Kota Semarang (1.369 ton).

"Sementara itu daerah dengan potensi defisit qurban terbesar didominasi daerah pedesaan Jawa, antara lain kawasan utara Jawa Timur, yaitu Kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep (-2.795 ton), kawasan utara Jawa Tengah yaitu Kabupaten Brebes, Tegal, Pemalang, Purbalingga, dan Pekalongan (-2.612 ton), Kabupaten Grobogan. Blora, Pati, Jepara, dan Kudus (-2.460 ton)," kata Askar. 

Daerah defisit gading qurban lainnya yaitu kawasan timur Jawa Timur yaitu Kabupaten Jember, Bondowoso dan Probolinggo (-1.807 ton), kawasan utara Jawa Barat yaitu Kabupaten Karawang, Indramayu, Majalengka, dan Cirebon (-1.572 ton), serta wilayah barat Banten yaitu Kabupaten Tangerang, Serang dan Pandeglang (-1.526 ton). 

Askar menyimpulkan, ketepatan pendistribusian qurban kepada sasaran yang paling berhak menjadi krusial dan menjadi salah satu indikator terpenting pelaksanaan qurban. 

“Jika dapat dilakukan perfect targeting kepada kelompok masyarakat yang paling berhak dengan diiringi perbedaan jumlah daging qurban sesuai kebutuhan mustahik, maka kemanfaatan daging qurban akan menjadi optimal. Dengan demikian, gini rasio konsumsi daging dapat diturunkan menjadi 0,4 atau ketimpangan moderat," jelasnya.   

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement