Senin 04 Jul 2022 18:51 WIB

IHSG Memerah Sepekan Terakhir, Ini Penyebabnya

Pada penutupan perdagangan hari ini IHSG terkoreksi tajam sebesar 2,28 persen.

Rep: Retno Wulandhari/ Red: Nidia Zuraya
Karyawan berjalan di dekat layar yang menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta (ilustrasi).
Foto: ANTARA/Aprillio Akbar
Karyawan berjalan di dekat layar yang menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selalu berakhir di zona merah selama enam hari beruntun. Dalam sepekan, IHSG bahkan telah terpangkas 5,37 persen dan sempat jatuh kembali ke level 6.500. 

Head of Investment Information, Mirae Asset Sekuritas, Roger MM, mengatakan data ekonomi menjadi pemicu utama penurunan IHSG akhir-akhir ini. Inflasi domestik bulan Juni naik ke level 4,35 persen, melebihi target Bank Indonesia (BI) di level 4 persen. 

Baca Juga

Data yang juga memengaruhi IHSG yaitu pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) yang minus 1,6 persen. Pelaku pasar khawatir kondisi ini membuka peluang kemungkinan Negeri Paman Sam itu jatuh ke jurang resesi.

"Saat ini concern isu masih di seputar inflasi dan suku bunga karena kenaikan agresif suku bunga di AS masih menjadi ancaman ekonomi global," kata Roger kepada Republika.co.id, Senin (4/7/2022). 

Roger melihat potensi pelemahan masih membayangi pasar hingga akhir tahun. Salah satunya dipicu potensi kebijakan bank sentral AS Federal Reserve yang masih akan menaikkan suku bunganya dikisaran 3,00 persen sampai 3,50 persen. 

Sejalan dengan itu, BI juga diperkirakan menaikkan suku bunga 7DRR lantaran nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terus melemah. Kenaikan suku bunga di dalam negeri juga dimungkinkan untuk menanan inflasi yang sudah melewati target BI di level 4 persen. 

Pada perdagangan hari ini, Senin (4/7/2022), IHSG terkoreksi tajam 2,28 persen. Menurut riset Eastspring Investment, penurunan IHSG hari ini merupakan respons yang tertunda, setelah keputusan the Fed untuk menaikkan suku bunga sebesar 75bps pada pertemuan bulan Juni kemarin, yang diikuti oleh pengetatan di zona Uni Eropa. 

Rupiah cenderung mengalami kelemahan sejak keputusan tersebut, hingga pada penutupan hari ini yang ditutup pada level 14.972. Meski demikian, Eastspring Investment menilai daya tahan rupiah tetap relatif lebih tangguh dibandingkan dengan rekan-rekannya di Asia. 

Sejak awal tahun rupiah mengalami pelemahan -4,7 persen, sedangkan negara-negara Asia lainnya mengalami pelemahan -5 persen hingga -8 persen. Hal ini juga yang mendasari Bank Indonesia terus mempertahankan suku bunga acuan di 3,50 persen di saat sebagian besar negara maju dan rekan-rekannya telah menaikkan suku bunga mereka.

Eastspring Investment melihat volatilitas masih akan tinggi dalam jangka pendek hingga menengah, terutama didorong oleh faktor ketidakpastian di global. "Mulai dari berlanjutnya tensi geopolitik antara Rusia dan Ukraina, laju inflasi dan pengetatan moneter di AS, hingga kekhawatiran akan resesi terus membebani sentimen," tulis Eastspring Investment dalam risetnya. 

Sejauh ini, Eastspring Investment melihat Indonesia masih didukung menguatnya harga komoditas global seperti batu bara dan minyak sawit mentah (CPO) yang merupakan sumber pendapatan ekspor utama bagi Indonesia. Hal ini dapat menambah pendapatan fiskal pemerintah, serta menopang pertumbuhan ekonomi, neraca perdagangan bahkan hingga stabilitas rupiah. 

Namun, meningkatnya kekhawatiran terhadap resesi terutama di AS maupun negara maju lainnya masih akan membayangi pergerakan pasar saham Indonesia. "Sehingga pada saat ini kami cenderung mengambil langkah yang lebih defensif pada portfolio kami, dan kami akan terus memantau untuk mengambil kesempatan disaat ketidakpastian sudah mulai mereda," kata Eastspring Investment.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement