REPUBLIKA.CO.ID JENEWA - Sebuah misi bentukan PBB di Libya mengatakan pada Senin (4/7/2022) ada kemungkinan kuburan massal yang jumlahnya bisa mencapai 100 dan belum diselidiki di Tarhouna. Sebelumnya, ratusan jenazah telah ditemukan di kota itu.
Misi Pencari Fakta (FFM) tersebut mendesak Tripoli untuk terus melakukan pencarian. Laporan yang akan diserahkan kepada Dewan HAM PBB pekan ini menguraikan bahwa sebuah milisi yang digerakkan oleh tujuh orang bersaudara mengeksekusi dan memenjarakan ratusan orang pada 2016-2020. Mereka terkadang mengurung orang-orang di dalam bangunan seperti oven yang disebut "kotak".
Selama interogasi, bangunan itu dibuat panas. Bukti penculikan, pembunuhan, dan penyiksaan di Tarhouna oleh misi yang bekerja secara independen itu menjadi contoh paling mengerikan pelanggaran HAM selama masa pergolakan sejak penggulingan Muammar Gaddafi pada 2011. Menurut laporan sepanjang 51 halaman itu di antara para korban adalah orang-orang penyandang disabilitas, perempuan, dan anak-anak.
Berdasarkan kesaksian penduduk dan dua kunjungan ke lokasi, FFM menemukan landasan yang masuk akal bahwa milisi Kaniyat melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan. Mereka juga mengidentifikasi empat komandan yang terlibat langsung dalam kejahatan itu.
Pemerintah Libya sebelumnya menemukan 247 mayat di beberapa kuburan tunggal dan kuburan massal di Tarhouna, Libya barat. Banyak di antara korban masih mengenakan borgol dan penutup mata. FFM menggunakan citra satelit untuk mengidentifikasi situs-situs baru, sebagian di antaranya menunjukkan adanya kerusakan pada tanah.
Namun misi menyatakan kemungkinan masih banyak lagi seraya menyebut sebuah kuburan massal yang disebut The Landfill (tempat pembuangan sampah). Baru sebagian kecil dari kuburan itu yang telah diselidiki.
"Menurut informasi orang dalam, kemungkinan masih ada 100 lagi kuburan massal yang belum ditemukan," tulis laporan itu.
Belum diketahui bagaimana temuan itu akan berdampak pada pemerintah Libya. Misi diplomatik negara itu di Jenewa tidak menanggapi permintaan untuk berkomentar. Milisi Kaniyat pernah bersekutu dengan Pemerintah Kesepakatan Nasional yang berpusat di Tripoli tetapi kemudian bergabung dengan Tentara Nasional Libya yang dipimpin oleh Khalifa Haftar, yang gagal menggulingkan pemerintah.
Milisi tersebut tidak lagi berkuasa di Tarhouna. Sebagian besar pemimpin Kaniyat yang masih bertahan diyakini telah melarikan diri ke wilayah timur Libya yang berada di bawah kendali Haftar. Dalam kesimpulannya, FFM mendesak pemerintah Libya untuk terus mencari kuburan-kuburan itu. Mereka juga meminta dibentuk pengadilan khusus untuk mengadili kejahatan internasional.
Namun, laporan itu juga menyebutkan kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam berkoordinasi di masa lalu. Beberapa diplomat dan sumber-sumber di PBB mengatakan bahwa Libya dulu menyatakan keberatan untuk melanjutkan misi pencarian yang akan berakhir bulan ini. Sebuah resolusi untuk melanjutkan investigasi hingga sembilan bulan berikutnya sedang dibahas oleh Dewan HAM PBB dan keputusannya diharapkan keluar pekan ini.