Selasa 05 Jul 2022 08:46 WIB

Apjati Keluhkan Persoalan Penempatan PMI Usai Pandemi Covid-19.

30 ribu PMI masih menunggu rincian biaya dari Kemenaker dan BP2MI.

Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Ilham Tirta
Sejumlah Pekerja Migran Indonesia atau PMI (ilustrasi).
Foto: Prayogi/Republika
Sejumlah Pekerja Migran Indonesia atau PMI (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko menerima kedatangan pengurus Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (Apjati) di gedung Bina Graha Jakarta, Selasa (5/7/2022). Dalam pertemuan tersebut, Apjati mengungkapkan berbagai persoalan penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) pascapandemi Covid-19.

Ketua Umum DPP Apjati, Ayub Basalamah mengatakan, seiring melandainya pandemi, beberapa negara sudah membuka kembali peluang untuk penempatan PMI, seperti Malaysia, Singapura, dan Taiwan. Hanya saja, kata dia, sampai saat ini penempatan PMI ke beberapa negara tujuan belum bisa dilakukan karena terkendala sejumlah persoalan.

Baca Juga

Ia mencontohkan, penempatan PMI ke Taiwan karena belum terbitnya biaya struktur (cost structure) dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) dan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI). “Ada 30 ribu PMI dengan tujuan penempatan Taiwan mengantre di Sisko P2MI (Sistem Komputerisasi Perlindungan Pekerja Migran Indonesia). Penempatan belum bisa dilakukan karena Kemenaker dan BP2MI belum terbitkan cost structure,” kata Ayub, dikutip dari siaran pers KSP.

Sebagai informasi, biaya struktur merupakan keseluruhan biaya bagi seseorang dalam rangka bekerja di luar negeri. Di antaranya mencakup biaya pelatihan, persyaratan awal, dan biaya jati diri seperti pengurusan paspor.

Di dalam negeri, biaya struktur menjadi acuan total biaya yang dibebankan kepada pencari kerja, dalam hal ini PMI. Sementara bagi negara tujuan penempatan, biaya tersebut digunakan sebagai acuan biaya perekrutan pekerja asal Indonesia. Dalam implementasinya, penetapan biaya struktur dilakukan atas dasar kesepakatan antara negara asal pekerja dengan negara yang menjadi tujuan penempatan.

“Belum keluarnya cost structure ini, membuat Taiwan juga belum bisa menerima PMI,” jelas Ayub.

Pada kesempatan itu, Ayub juga membeberkan, penempatan PMI ke Taiwan yang sudah berjalan merupakan program 2020 atau sebelum terjadi pandemi Covid-19, dengan total 86 ribu PMI. Sementara untuk penempatan baru, ujar dia, sampai saat ini masih belum ada.

“Kondisinya stuck, Bapak. Untuk itu kami datang ke sini (KSP) agar persoalan ini bisa selesai,” ucapnya.

Selain persoalan penempatan PMI, Ayub juga menyampaikan terkait pentingnya penegakan hukum terhadap praktik-praktik penempatan PMI Non Presedural. Sebab, Apjati menemukan, jumlah penempatan PMI Non Prosedural sangat besar, terutama ke negara-negara di Timur Tengah.

“Satu bulan bisa lima sampai tujuh ribu,” kata dia.

Menanggapi hal itu, Moeldoko menegaskan akan segera mengoordinasikan persoalan biaya struktur untuk penempatan PMI dengan Kemnaker, BP2MI, dan pihak asosasi penempatan, termasuk soal PMI Non Presedural. “Penempatan PMI salah satu sektor unggulan untuk perekonomian Indonesia, dengan pencapaian devisa. Kita harus bisa mengambil peluang ini,” kata Moeldoko.

Ia mengatakan, sumbangan devisa negara dari PMI sangat besar. Pada 2021 saja, devisa negara yang diperoleh mencapai Rp 130 triliun rupiah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement