REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING - China meminta junta Myanmar untuk mengadakan pembicaraan dengan oposisi untuk menyudahi krisis politik setelah kudeta 2021. Hal ini didesak oleh Menteri Luar Negeri (Menlu) China Wang Yi dalam lawatan pertamanya ke Myanmar sejak kudeta.
Beijing adalah salah satu dari sedikit sekutu internasional militer Myanmar. China memasok senjata dan menolak penyebutan diksi "kudeta" dari perebutan kekuasaan yang menggulingkan Aung San Suu Kyi.
Wang mengatakan, China mengharapkan semua pihak di Myanmar untuk mematuhi konsultasi rasional. Ia juga mengatakan pihak-pihak terkait di Myanmar agar mencapai rekonsiliasi politik.
"China dengan tulus berharap Myanmar akan stabil secara politik dan sosial," kata Wang Yi kepada menteri urusan luar negeri Myanmar, Wunna Maung Lwin, dikutip laman The Guardian, Senin (4/7/2022).
Dalam kunjungan profil tertinggi Beijing ke Myanmar sejak kudeta, Wang menghadiri pertemuan para menteri luar negeri dengan perwakilan dari Kamboja, Thailand, Laos dan Vietnam. Komentarnya mengikuti juru bicara junta yang mengindikasikan bahwa pembicaraan antara militer dan pemimpin terguling Aung San Suu Kyi untuk menyelesaikan kekacauan itu "bukan sesuatu yang tidak mungkin".
Kekerasan sipil Myanmar yang meningkat telah memicu kekhawatiran dari negara-negara tetangganya. Kunjungan utusan regional yang dibentuk ASEAN mencoba memulai pembicaraan antara tentara dan lawan-lawannya.
Sementara pemerintah barat menjatuhkan sanksi setelah kudeta dan tindakan keras terhadap perbedaan pendapat. Junta yang terisolasi semakin beralih ke sekutu termasuk China dan Rusia.
Pada Mei, kelompok pemberontak etnis Myanmar yang kuat dengan hubungan dekat dengan China menyerukan junta untuk terlibat dalam dialog dengan oposisi untuk mengakhiri kekerasan yang meningkat, yang telah melihat kepentingan bisnis China diserang. Beijing mengatakan pada April akan membantu menjaga kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas teritorial Myanmar tidak peduli bagaimana situasinya berubah.