Sultan Tegaskan Kekerasan Fisik Bukan Budaya DIY
Rep: Silvy Dian Setiawan/ Red: Muhammad Fakhruddin
Bangkai motor dibakar tergeletak di sekitar TKP ruko Babarsari, Sleman, Yogyakarta, Senin (4/7/2022). Aparat Kepolisian Polda DIY berjaga usai bentrok antar kelompok di Seturan. Bentrokan ini pascadugaan penganiayaan di tempat hiburan pekan lalu. Sebanyak enam motor dibakar dan beberapa ruko rusak di Babarsari. | Foto: Wihdan Hidayat / Republika
REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA -- Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X menyebut bahwa kekerasan fisik bukan budaya dari masyarakat DIY. Hal ini disampaikan Sultan menyusul terjadinya kerusuhan di kawasan Seturan dan Babarsari, Depok, Sleman, DIY, Senin (4/7) kemarin.
"Karena masyarakat kita ini tidak mengenal kekerasan fisik seperti itu," kata Sultan di Kompleks Kepatihan, Yogyakarta, Selasa (5/7).
Dalam kerusuhan tersebut, diduga melibatkan warga dari luar DIY yakni Indonesia timur. Sultan berharap agar pendatang yang masuk ke DIY untuk tidak melakukan kekerasan fisik.
"Sesuaikan kondisi dimana dia berada, di Yogya bukan model kekerasan (untuk) dilakukan, harus menyesuaikan dimana dia tinggal," ujar Sultan.
Sultan menyebut, pelaku kerusuhan tersebut harus ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku. Kerusuhan tersebut diharapkan juga tidak dikaitkan dengan suku, agama dan ras.
"Mereka warga saya, kebetulan aspek sukunya lain itu memang Indonesia, tapi dia tinggal di Yogya. Itu berarti bagian dari orang yang memang orang Yogya, saya tidak mau membeda-bedakan. Tapi kalau melakukan tindak pidana yang tidak semestinya dan itu melanggar hukum, tegakkan hukum, sudah itu saja," jelasnya.
Masyarakat yang terlibat dalam kericuhan tersebut, katanya, tidak harus dikeluarkan dari DIY. Namun, Sultan menegaskan, agar proses hukum dijalankan karena adanya tindak pidana.
"Itu kan juga rakyat Indonesia, dia mau tinggal dimanapun boleh, dia punya hak untuk tinggal dimanapun, bukan masalah itu. Tapi yang penting hukum ditegakkan," tambah Sultan.
Seperti diketahui, Kabid Humas Polda DIY, Kombes Yulianto, mengatakan, kejadian pada Senin (4/7) kemarin itu merupakan buntut dari kerusuhan yang sudah terjadi sebelumnya di salah satu tempat hiburan di Babarsari.
“Kejadian ini bermula pada Sabtu dini hari tanggal 2 Juli, TKP-nya di salah satu tempat hiburan di Babarsari. Setelah kelompok L selesai karaoke lantas ditanyai oleh pihak kasir, namun berakhir ribut di situ,” kata Yulianto di Mapolda DIY, Senin (4/7/2022).
Kemudian, lanjutnya, pihak manajemen tempat hiburan tersebut menghubungi pihak keamanan yang bertanggung jawab akan keamanan yaitu sekuriti dengan inisial K. K sempat mengimbau agar tidak terjadi kerusuhan, namun malah terjadi keributan yang mengakibatkan beberapa kerusakan.
“K menyampaikan supaya tidak ada keributan pada kelompok L, tapi kemudian di situ terjadi keributan dan ada pengurusan di tempat hiburan tersebut berupa monitor komputer yang pecah kemudian juga ada kaca yang pecah,” kata Yuli.
Akibat kerusuhan tersebut, dari kelompok L tiga orang terluka dan dilarikan ke rumah sakit. Setelah dibubarkan oleh polisi pada malam itu peristiwa berlanjut pada pukul 05.00 Ahad (3/7/2022).
Kelompok L melakukan serangan balasan pada kelompok K di Jambusari, Condongcatur, Depok, Sleman. “Ini kondisinya ada tiga orang juga yang terluka dari kelompoknya K. Salah satu korban yang di Jambusari ada hubungan darah dengan warga Papua,” katanya.