REPUBLIKA.CO.ID, KUDUS -- Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti menegaskan, penghapusan kelas rawat inap menjadi kelas rawat inap standar (KRIS) di rumah sakit membutuhkan proses dan tidak bisa tergesa-gesa. Perubahan menjadi KRIS harus pelan-pelan karena rumah sakit juga perlu melakukan perubahan fisik ruang rawat inapnya.
"Pelaksanaannya harus hati-hati dan tidak tergesa-gesa, karena memerlukan proses komprehensif dan lebih baik lagi," ujarnya saat menggelar Publik Ekspose Pengelolaan Program dan Keuangan BPJS Kesehatan 2021 melalui zoom meeting yang dipantau dari Kudus, Selasa (5/7/2022).
Bagi rumah sakit pemerintah daerah, perubahan fisik bangunan membutuhkan tahapan yang lebih lama, karena ada persetujuan dengan DPRD setempat. Selain itu, perlu duduk bersama untuk merumuskan kembali yang tepat seperti apa, termasuk untuk kesiapan rumah sakit.
Apalagi, rumah sakit juga harus memenuhi sejumlah kriteria yang ditetapkan, salah satunya terkait standar ruang rawat inapnya. "Sebelum diputuskan, tentunya perlu ada perumusan kembali dan kesepakatan tentang tujuan dan definisi KRIS. Bagaimana kriterianya, apakah fisik dan nonfisik," ujarnya.
Misalnya, untuk kriteria nonfisik, karena ada pertanyaan dari pasien terkait anggapan dipulangkan lebih awal. Jika belum ada petunjuk klinis medisnya, seharusnya jangan dipulangkan, sehingga muncul persepsi sudah harus pulang atau dananya tidak cukup.
Untuk itu, kata dia, perlu pertimbangan komprehensif dan lebih matang serta saksama, sehingga perlu waktu untuk perumusannya. Karena membutuhkan waktu dan kesiapan, selanjutnya dilakukan uji coba penerapan KRIS di beberapa rumah sakit khusus vertikal milik Kementerian Kesehatan, termasuk terhadap peserta jaminan kesehatan nasional (JKN).
Rumah sakit yang dinyatakan siap melaksanakan uji coba penghapusan kelas rawat inap BPJS Kesehatan, meliputi Rumah Sakit dr Sardjito di Yogyakarta, RS TNI AD Reksodiwiryo di Padang Sumatra Barat, dan RS Pongtiku Toraja Utara.