REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Untuk menjadi imam diperlukan persyaratan-persyaratan tersendiri. Dalam hal ini, agama juga mengatur mana orang yang dapat lebih utama dijadikan imam dan mana yang tidak.
Syekh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi dalam kitab Minhajul Muslim menjelaskan, orang yang paling utama menjadi imam adalah orang yang paling fasih bacaan Alqurannya. Lalu orang yang paling mengerti masalah agama, lalu orang yang takwa, lalu orang yang paling tua usianya.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW, "Hendaklah orang yang mengimami shalat suatu kaum adalah orang yang paling fasih bacaan Alqurannya. Jika kefasihan bacaan mereka sama, hendaklah orang yang paling mengetahui mengenai sunnah. Jika pengetahuan mereka mengenai sunnah itu sama, hendaklah orang yang paling dahulu melaksanakan hijrah. Jika pelaksanaan hijrah mereka sama, hendaklah orang yang paling tua usianya,".
Selama ia bukan seorang penguasa atau pribumi, mengingat penguasa pribumi lebih utama dianggap lebih utama menjadi imam daripada yang lainnya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi, "Laa yau-manna ar-rajulu ar-rajula fi ahlihi wa laa sulthaanihi illa bi-idznihi,".
Yang artinya, "Janganlah seseorang mengimami (shalat jamaah) pada sisi keluarganya (orang pribumi) atau penguasanya, kecuali atas izinnya,". Adapun orang yang kurang utama sah mengimami shalat orang-orang, meski ada orang yang lebih utama darinya.
Sebab RAsulullah SAW pernah shalat di belakang (menjadi makmmum) Sayyidina Abu Bakar dan Abdurrahman bin Auf. Padahal Rasulullah SAW lebih utama dari keduanya dan dari semua makhluk.