Rabu 06 Jul 2022 15:35 WIB

Perencana Keuangan Sebut Hanya 9 Persen Penduduk RI Punya Dana Darurat

Masih banyak penduduk yang sulit menabung dan berinvestasi tanpa tujuan.

Red: Friska Yolandha
Ilustrasi investasi. Pakar perencana keuangan, Annisa Steviani, mengungkapkan kurangnya literasi keuangan masyarakat Indonesia sehingga hanya sembilan persen orang Indonesia yang punya dana darurat untuk hidup selama enam bulan setelah mereka berhenti atau tidak bekerja.
Foto: Pixabay
Ilustrasi investasi. Pakar perencana keuangan, Annisa Steviani, mengungkapkan kurangnya literasi keuangan masyarakat Indonesia sehingga hanya sembilan persen orang Indonesia yang punya dana darurat untuk hidup selama enam bulan setelah mereka berhenti atau tidak bekerja.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar perencana keuangan, Annisa Steviani, mengungkapkan kurangnya literasi keuangan masyarakat Indonesia sehingga hanya sembilan persen orang Indonesia yang punya dana darurat untuk hidup selama enam bulan setelah mereka berhenti atau tidak bekerja. Annisa menyatakan bahwa fenomena ini dipengaruhi banyak orang belum paham bagaimana merencanakan keuangan, kesulitan menabung dan belum bisa membedakan mana kebutuhan dan keinginan.

"Perencanaan keuangan dibutuhkan bukan hanya agar kita bisa tenang setelah pensiun nanti tapi tenang selama kita hidup sekarang ini," kata dia, Rabu (6/7/2022).

Baca Juga

Menurut dia, kesulitan orang menyisihkan penghasilannya untuk dana darurat antara lain karena banyak orang sulit menabung serta tidak punya pengendalian diri yang baik terhadap pengeluaran. Faktor lainnya adalah karena tidak takut berutang, tidak punya catatan keuangan, investasi tanpa tujuan dan cenderung ikut-ikutan, serta faktor budaya dan tidak mau menerima masukan baru.

"Tidak takut berutang karena sekarang mudah sekali untuk mendapat akses ke sana, bahkan makan saja kita diberikan diskon dan opsi pembayaran nanti-nanti," jelas Annisa.

Selain itu, ujar dia, kondisi belum memahami pentingnya perencanaan keuangan juga turut andil dalam sulit disiplinnya kita dalam mengelola keuangan masih banyak orang menganggap mencari kebahagiaan dengan berbelanja. "Kalo gajian kita checkout semua e-commerce begitu pesanannya datang kita buka bungkusnya, kita pandangi paling bahagianya cuma lima menit setelah itu jadi penyesalan," papar Annisa.

Untuk itu, ia menegaskan agar seseorang harus bisa mengatur antara menabung dan berbelanja mewah, mengatur pengeluaran yang masuk akal, memisahkan rekening tabungan sesuai pos pengeluaran, sanggup memilih antara kewajiban, keinginan dan kebutuhan serta hidup sesuai dengan kemampuan.

Seperti diketahui, berbagai upaya sedang dilakukan pemerintah untuk mencapai target inklusi keuangan di Indonesia sebesar 90 persen pada 2024 yang diharapkan diiringi dengan literasi keuangan yang tinggi. Pada 2021, tingkat inklusi keuangan Indonesia telah mencapai 83,6 persen pada 2021 atau meningkat 2,2 persen dibandingkan 2020.

Pemerintah melalui Kelompok Kerja Edukasi Keuangan pada Dewan Nasional Keuangan Inklusif (DNKI) terus mendorong dan gencar melakukan berbagai inisiatif kegiatan edukasi atau literasi keuangan secara masif dan menyasar berbagai kelompok masyarakat prioritas, yang dilakukan guna memangkas kesenjangan antara tingkat inklusi keuangan dengan tingkat literasi keuangan. Sesuai amanat Peraturan Presiden Nomor 114 Tahun 2020 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI), pemerintah terus mempermudah akses layanan keuangan, khususnya kelompok penerima manfaat usaha mikro kecil (UMK), petani, nelayan, dan masyarakat berpenghasilan rendah, serta meningkatkan partisipasi pelajar atau santri dan pemuda dalam keuangan inklusif.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement