REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sepanjang perdagangan Rabu (6/7/2022) bergerak di zona negatif dengan terkoreksi tajam ke posisi 6.646,41. Pada penutupan sesi pertama, IHSG bahkan sempat anjlok hingga 1,10 persen.
IHSG gagal bertahan di zona hijau setelah pada perdagangan sebelumnya, Selasa (5/7/2022), mampu menguat 0,97 persen dan mengakhiri reli panjang penurunan selama enam hari beruntun. Pada perdagangan kali ini IHSG kembali terpangkas 0,85 persen.
Penurunan IHSG sejalan dengan indeks saham di Asia yang juga mayoritas ditutup turun. "Pasar saham dibayangi ketakutan mengenai perlambatan ekonomi atau bahkan resesi baik di tingkat global maupun di kawasan Asia Pasifik," kata Phillip Sekuritas Indonesia dalam risetnya, Rabu (6/7/2022).
Kekhawatiran mengenai resesi ini telah mendorong nilai tukar mata uang dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama di dunia naik ke level tertinggi dalam lebih dari dua tahun. Naiknya dolar AS juga menekan harga minyak mentah hingga di bawah 100 dolar AS per barel.
Harga Tembaga anjlok ke bawah 7.500 dolar AS per ton, tertekan oleh ketakutan mengenai perlambatan ekonomi global. Dengan demikian, harga komoditas logam industri semakin turun tajam di banding dengan puncak atau harga tertingginya yang tercatat beberapa bulan lalu.
Selain resesi, menurut Phillip Sekuritas Indonesia, investor juga harus menghadapi risiko yang datang dari krisis energi di Eropa di tengah perang antara Rusia dan Ukraina. Buruknya kinerja korporasi seiring melambatnya aktifitas ekonomi di AS juga menjadi ancaman.
Di China, Shanghai meluncurkan testing massal untuk virus Covid-19 di 9 distrik setelah menemukan beberapa kasus penularan dalam dua hari terakhir. Hal ini memicu kekhawatiran Shanghai yang merupakan pusat keuangan bakal memberlakukan kebijakan Lockdown dalam rangka menjalankan strategi Zero Covid-19.
Dalam waktu dekat, bank sentral AS Federal Reserve akan merilis notulen rapat kebijakannya bulan. Notulen ini akan memberikan gambaran rinci terkait pandangan mereka mengenai arah suku bunga acuan dalam jangka pendek di tengah lonjakan inflasi dan sinyal perlambatan ekonomi.